TUMBAL PESUGIHAN PART 4
"Tolong jangan ganggu saya, saya hanya mencari rezeki di sini," kata gadis itu memberanikan diri.
Selimutnya tiba-tiba terbuka, dan muncul di sana sesosok bayi dengan luka lebam di sekujur tubuhnya.
"Aaaa ...!" Spontan gadis itu menjerit.
Kreeek ....
Terlihat pintu terbuka ....
"Bu Sari? Pak Bayu?" panggil Uut dengan sedikit perasaan lega. Mungkin kedua majikannya itu mendengar jeritannya.
Lama, tidak ada siapa pun yang muncul dari balik pintu. "Ibu ... Bapak ...." Kembali ia memanggil.
"Owee ... oweee ...." Muncul dari sana dua sosok bayi yang masih begitu kecil, dengan tali plasenta yang masih menggantung di pusarnya.
"Aaaa ...!" jerit Uut sembari menutup wajahnya dengan selimut.
Kedua bayi itu terus merangkak mendekat dan melompat naik ke atas tempat tidur.
"Pergi! Jangan ganggu saya ...!" teriak Uut sembari menangis.
"Oweee ... oweee ...."
#Tumbal_Pesugihan
#Fiksi
#Part_11
Oleh: Adh Va
Sari terpaksa harus kembali melakukan semua pekerjaan rumah seorang diri karena semalam, Uut ARTnya, menangis meminta untuk pulang dengan alasan yang tidak ia jelaskan.
"Ah ... akhirnya selesai juga," lirih wanita itu sembari meletakkan mangkuk berisi sayur sup kesukaan sang suami di meja makan. Tiba-tiba, pandangan matanya menjadi gelap, dan seketika ... tubuhnya luruh ke lantai.
"Dek!" pekik Bayu yang baru saja datang. Segera ia menghambur ke arah wanita itu. "Dek, kamu kenapa? Sadar, Dek!" panggilnya seraya menepuk pelan pipi Sari.
Bergegas ia membopong tubuh lunglai istrinya, dan membawanya masuk ke dalam kamar. Dengan begitu hati-hati, Bayu membaringkan tubuh semampai itu ke tempat tidur.
"Dek, sadar. Kamu kenapa?" Kembali Bayu bertanya dengan paniknya. Namun wanita itu tidak juga membuka mata.
"Aduh ...," keluh Bayu lirih sembari mengacak rambut pendeknya. Bergegas ia mencari minyak kayu putih yang biasanya tergeletak di meja rias. "Ini dia," katanya kemudian.
Perlahan mata Sari terbuka, setelah Bayu mengoleskan minyak kayu putih tersebut ke hidungnya. "Au ...," rintihnya sembari memegang kepalanya yang masih terasa berat.
"Dek, kamu sudah sadar. Syukurlah ...," ucap laki-laki itu sambil mengusap wajah, terlihat ia begitu lega. "Kamu tadi kenapa? Kok, bisa pingsan?" Kembali Bayu bertanya.
"Gak tau, Bang. Tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap," terang Sari sembari memijit pelipis.
"Wajah kamu pucat sekali, Dek. Kita berobat ke dokter, ya?" Ajak Bayu khawatir.
Sari hanya mengangguk tanda setuju. Setelah bersiap, mereka pun segera berangkat ke rumah dokter terdekat.
***
"Ja-jadi, istri saya hamil, dok?" tanya Bayu seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dokter itu sampaikan.
"Saya hamil, dokter?" Sari turut bertanya dengan mata yang berkaca-kaca. Terlihat kebahagiaan yang luar biasa besar dari wajah wanita itu.
"Betul sekali, kandungan Ibu sudah memasuki usia satu bulan." Dokter itu menjelaskan.
"Dek, kita akan segera punya anak!" Bayu menatap wajah sang istri. Diraihnya tangan wanita itu dan kemudian dikecupnya lembut.
"Iya, Bang. Setelah sekian lama kita menunggu, akhirnya kita akan segera menjadi orang tua.
"Selamat, ya ...," kata dokter itu sembari tersenyum.
Terimakasih, dokter. Terimakasih banyak," jawab Bayu dan Sari hampir bersamaan.
***
"Jangan! Jangan ambil anakku! Jangan ...!" teriak Sari sembari memegangi perut. Wajahnya terlihat begitu pucat dengan peluh yang deras mengucur membasahi sekujur tubuh.
"Dek, bangun. Kamu mimpi?" Bayu mengguncang bahu sang istri. Perasaannya jadi tidak menentu, karena semenjak mulai mengandung, Sari selalu bermimpi buruk. Terkadang luka yang ia dapatkan di dalam mimpi, benar-benar membekas di tubuh wanita itu.
"Abang ... aku takut, Bang. Aku takut ...," keluh Sari seraya memeluk erat tubuh Bayu.
"Jangan takut, Dek." Bayu mengusap lembut punggung wanita yang akan segera memberikannya keturunan.
"Abang ... tolong anak kita, Bang. Aku nggak mau terjadi apa-apa dengan anak kita, aku sangat menginginkannya ... aku sangat menyayanginya ...."
"Iya, Dek ... iya, Abang juga sayang sama calon anak kita," ujar Bayu sembari menitikkan airmata.
***
"Dek ...," panggil Bayu karena Sari sudah tidak lagi ada di sampingnya. Padahal jarum jam masih menunjukkan pukul 04.00 pagi. "Dek!" Kembali ia memanggil sembari beranjak turun dari tempat tidur dan memeriksa ke kamar mandi. Kosong, wanita itu tidak ada di sana.
Dengan panik, Bayu bergegas ke luar untuk mencari. Langkahnya terhenti ketika melewati ruang makan. "Dek, kamu di situ. Abang cariin, lho ...," katanya kemudian begitu melihat orang yang ia cari sedang duduk sembari menyantap sesuatu. Segera ia menghampiri ....
"Makan, kok, nggak ngajak-ngajak, sih ...?" kata Bayu sambil memegang pundak istrinya dari belakang. Namun, matanya seketika terbelalak melihat apa yang sedang dimakan oleh sang istri. "Dek, apa yang kamu makan?!" tanya Bayu seraya menarik piring yang berisi daging ayam mentah dari hadapan Sari.
"Kemarikan! Kemarikan!" teriak Sari dengan mata melotot. Ia berusaha menggapai piring yang telah berpindah ke tangan suaminya.
"Dek, sadar. Kamu makan daging mentah!" ujar Bayu sembari menjauhkan piring itu.
"Abang! Aku mau daging itu, kembalikan!" teriak Sari sambil mengejar suaminya yang membawa pergi daging itu.
"Dek!" bentak Bayu seraya melemparkan piring yang berisi daging ayam mentah tersebut ke lantai.
Mata Sari terlihat memerah menahan amarah. Ditatapnya piring yang sudah hancur berserak di lantai beserta daging ayam yang membuatnya sangat bernafsu. "Abang ...!" Tatapannya berpindah pada Bayu, suaminya.
"Sejak kapan kamu suka daging mentah, Dek? Sejak kapan?"
"Aaahh ...!" teriak Sari geram. Tampak ia terduduk sembari menjambak rambutnya.
***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.30, tapi mata Bayu masih enggan terpejam. Kejadian tadi pagi benar-benar mengganggu pikirannya.
"Bayu. Ingat akan kewajibanmu!" Terdengar suara Nyai Kembang yang menggema di gendang telinga laki-laki itu.
"I-iya, Nyai. Akan segera saya persiapkan," jawab Bayu dengan segera. Bagaimana dia bisa lupa dengan tumbal yang harus ia persembahkan?
"Secepatnya, Bayu. Jangan sampai kau menyesal!"
"I-iya, Nyai. Pasti." Bayu meyakinkan. Pikirannya semakin kacau, karena sampai saat ini, dia belum mendapatkan calon korbannya.
"Aauuu ...," rintih Sari tiba-tiba sambil mendekap perut.
"Dek, kenapa?! Perut kamu sakit?" Bayu begitu panik. Segera ia beranjak bangkit dan mengusap-usap perut sang istri.
"I-iya, Bang ... perutku sakit seperti diremas-remas ...," terang Sari sambil meringis menahan sakit.
"Ya, ampun ... kita ke dokter sekarang, ya?" Ajak Bayu sambil melompat turun dari tempat tidur. Digapainya kunci mobil yang tergantung di dekat pintu.
"Bang, sakitnya hilang ...," kata Sari sambil mengusap perut. Terlihat wanita itu tidak kesakitan lagi.
"Yang betul?" Bayu tampak kurang yakin.
"Sungguh, Bang ...?"
"Itu hanya peringatan kecil untukmu, Bayu! Segera persiapkan tumbal itu, atau bayimu yang akan menjadi santapanku ...!" Kembali suara wanita iblis itu menggema di telinga Bayu.
"Hah! Ja-jangan, Nyai. Saya mohon ...."
"Abang ...? Abang bicara dengan siapa?" Sari terheran-heran.
Bayu meremas-remas rambut pendek yang menjadi ciri khasnya. Ia tampak begitu terpukul dengan apa yang dikatakan oleh Nyai Kembang, yang selama beberapa tahun terakhir ini telah menjadi sesembahannya.
"Abang, jawab. Abang bicara sama siapa?!" Desak Sari sambil mengguncang tubuh laki-laki itu.
"Enggak, Dek. Kepala Abang sakit," jawab Bayu sembari pergi ke luar. Ancaman Nyai Kembang sepertinya tidak main-main. Wanita itu bisa melakukan apa saja yang ia ingini.
"Hahaha ...!" Terdengar gelak tawa iblis wanita sang penghisap sukma bayi. Suaranya begitu nyaring memenuhi seluruh ruang makan, di mana Bayu berada sekarang.
"Nyai, saya mohon ... jangan ambil anak saya." Bayu menghiba seraya berlutut.
"Asalkan kau selalu memenuhi kewajibanmu, aku tidak akan pernah melakukan itu!" ucap Nyai Kembang.
"Baik, Nyai. Besok akan segera saya persiapkan tumbal itu." Bayu berjanji.
"Aku tunggu janjimu, Bayu. Jangan sampai kau menyesal!" ancam wanita itu.
***
Dengan frustasi, Bayu menyusuri jalanan kota dengan motor besarnya. Matanya sibuk menatap ke sisi kanan dan kiri jalan, berharap ada mangsa yang dapat ia jadikan korban berikutnya.
Matanya tiba-tiba berbinar ketika melihat seorang wanita tanpa alas kaki dengan perut besar yang hendak menyebrang jalan. Segera ia menepikan kendaraannya.
"Maaf, Ibu ... saya mau numpang tanya?" kata Bayu sembari sedikit membungkukkan tubuh.
"Iya, Pak. Silahkan ...," jawab wanita itu dengan ramah.
"Apakah ada rumah makan di dekat sini?" Pertanyaan tidak masuk akal itu terlontar dari mulut Bayu.
"Ada, Pak ... itu." Wanita itu menunjuk ke arah yang ia maksud.
"Oh ... saya tidak melihatnya tadi." Bayu tertawa lirih sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Wanita hamil itu ikut tertawa dengan kekonyolan laki-laki yang ada di hadapannya.
"Saya mau membelikan pesanan istri saya, Bu. Kebetulan istri saya juga sedang hamil. Bagaimana kalau Ibu saya traktir makan sebagai ucapan terimakasih." Bayu mulai melancarkan aksinya.
"Terimakasih, Pak. Bukannya saya menolak, tapi anak dan suami saya sedang menunggu di rumah," jelas wanita itu.
"Oh, begitu. Tidak masalah, Bu ... nasinya akan saya bungkus saja, jadi Ibu bisa membawanya pulang." Bayu memaksa. Segera ia pergi tanpa menunggu jawaban dari wanita tersebut. Tidak begitu lama, ia sudah kembali lagi dengan menenteng dua buah kantong plastik. "Ini buat Ibu dan keluarga, semoga berkenan dengan pemberian saya," kata Bayu kemudian.
"Waduh, jadi merepotkan. Terimakasih banyak, Pak ...." Wanita itu menghentikan ucapannya dan tampak seperti berpikir.
"Saya Bayu," terang suami Sari bersemangat.
"Oh, iya ... terimakasih, Pak Bayu."
"Dan ini dengan Ibu siapa, maaf ...?" Bayu bertanya.
"Saya Ratna, Pak ...."
"Oo ... Ibu Ratna. Baiklah, terimakasih banyak, Bu Ratna. Saya permisi, karena istri saya juga sudah menunggu di rumah." Pamit Bayu kemudian.
***
"Si-siapa kamu!" pekik Sari sembari memegang perutnya dengan kedua tangan. Ia beringsut mundur berusaha menjauh dari sosok wanita cantik yang kini berada di hadapannya.
"Aku yang akan menagih janji suamimu!" jawab wanita itu dengan sorot mata yang begitu tajam.
"Janji apa? Jangan ganggu saya!" Sari terlihat begitu ketakutan. Keringatnya mulai mengucur membasahi wajah dan juga tubuh.
"Anakmu ...! untukku ...!" Wanita itu berujar sambil menatap nanar perut Sari yang sedari tadi ia peluk.
"Jangan macam-macam! Abang ...! Tolong, Bang!" teriak Sari sekuat tenaga. Tapi hanya suara lirih yang keluar dari mulutnya.
"Hahahaaa ...!" Wanita itu tertawa lantang sembari mendekat ke arah Sari yang tampak semakin ketakutan. Tiba-tiba ... ia menghilang. Benarkah?
"Aaahh ... sakit ...!" Sari berteriak seraya menekan perutnya yang tampak bergerak-gerak. "Abang ...!" panggilnya pada Bayu yang saat ini tentunya tengah berada di tempat ritualnya. "Aaahh ...!" jeritnya panjang dan seketika terdiam kala semuanya menjadi gelap.
***
"Persembahanmu telah aku terima, Bayu. Bukalah matamu," kata Nyai Kembang sembari tersenyum puas.
Perlahan Bayu membuka matanya ....
"Terimakasih, Nyai," ucap Bayu sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Terlihat tumpukkan daun sirih yang merupakan salah satu syarat ritualnya, telah berubah menjadi uang dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari biasanya.
"Sepertinya ini jauh lebih banyak?" lirihnya sembari memasukkan uang-uang tersebut ke dalam tas. Setelah selesai, bergegas ia kembali ke kamar.
Dengan berhati-hati, Bayu membuka pintu kamar dan melangkah masuk. Namun seketika langkahnya terhenti ketika dilihatnya paha istrinya yang tampak berlumuran darah.
"Sari!" panggilnya seraya melemparkan tas berisi uang yang dibawanya. "Sayang, bangun ...!" pekiknya lagi.
"Ya, Tuhan ... apa yang terjadi?! Bangun, Sayang! Tidaaak ...!" Bayu berteriak bagaikan orang gila. Tidak menunggu lama, segera ia melarikan wanita itu ke rumah sakit. Setibanya di sana, Sari segera mendapatkan penanganan dari tim medis. Sementara Bayu, dengan cemas menunggu di luar. Terlihat ia berjalan mondar-mandir sembari menangis. "Sayang ... kamu harus kuat ...," lirihnya dengan airmata yang terus mengalir.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dokter yang menangani Sari keluar dari ruangan yang selalu menjadi sasaran netranya. "Dokter, bagaimana dengan keadaan istri dan anak saya?" Segera Bayu bertanya sembari berlari mendekat.
"Begini, Pak. Kondisi janin dalam rahim istri Bapak sudah hancur, dan terpaksa kami harus mengeluarkannya," ujar dokter itu sembari membetulkan kacamata yang bertengger di hidungnya.
"A-apa, dokter?" Bayu menggeleng pelan. Hatinya begitu hancur sama halnya seperti hancurnya raga sang buah hati yang telah begitu ia nanti-nanti.
"Itu juga demi keselamatan Ibunya." Dokter itu menambahkan.
"Lakukan yang terbaik, dokter. Tolong selamatkan istri saya," kata Bayu sembari menunduk.
"Baik, Bapak. Kalau begitu ... tolong segera ditandatangani surat persetujuan untuk tindakan kuret yang akan kami lakukan.
"Baik, dokter ...," lirih Bayu.
Sepeninggal sang dokter, Bayu terduduk di lantai dingin yang tanpa ia sadari dipenuhi dengan cairan berwarna merah pekat dan kental serta berbau anyir.
"A-apa ini?" gumamnya sembari meraba lantai yang terasa basah. "Da-darah ...?" lirihnya lagi sambil menatap telapak tangannya yang kini menjadi berwarna merah.
"Itulah akibat dari kelalaianmu, Bayu!" Suara lantang Nyai Kembang mengejutkan laki-laki itu.
"Apa maksud, Nyai? Jadi, Nyai yang sudah membunuh anak saya?! Saya sudah melakukan apa yang menjadi kewajiban saya. Tapi kenapa, Nyai masih melakukannya?! Nyai, kejam!" teriak Bayu bagai kesetanan.
"Kau ceroboh, Bayu! Orang yang kau tuju tidak memakan umpanmu!"
"Apa?!"
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar