TUMBAL PESUGIHAN
PART 5 TAMAT
Oleh: Adh Va
"Enggak! Aku nggak mau kehilangan anak kita, Bang ...! Aku nggak mau ...!" teriak Sari histeris seraya terus meronta.
"Sudah, Dek ... jangan begitu ...," ujar Bayu sambil mendekap tubuh istrinya yang terus berusaha melompat turun dari tempat tidur.
"Sari, jangan begitu, Nak ... kamu harus ikhlas ...." Ibu mertua Bayu turut menenangkan.
"Betul, Ri. Berarti Allah lebih sayang sama anak kamu ...." Anis mengusap lembut kepala sang adik.
"Tapi aku sudah begitu lama menantikannya, Mbak ...!" ujar Sari sambil tersedu. Ia belum bisa menerima kenyataan buruk yang menimpanya.
"Tidak ada yang bisa melawan takdir, Nak. Ikhlas, itulah jalan terbaik. Nanti juga kan, kamu masih bisa hamil lagi," rayu sang Ibu.
"Betul, Dek. Kita akan berusaha agar kamu bisa secepatnya hamil lagi, dan kita akan segera punya anak." Bayu turut menambahkan.
"Betul itu, Ri. Mbak waktu itu juga pernah mengalami hal seperti ini, tapi alhamdulillah ... sekarang sudah kembali berisi," ujar Anis yang membuat mata Bayu membulat.
'Jadi ... Mbak Anis sedang mengandung? Andai saja aku tau, pasti anakku tidak akan menjadi korban,' ucap hati Bayu.
***
Dua bulan sudah Sari kehilangan janin dalam rahimnya, tapi ia masih banyak diam dan melamun tanpa mau melakukan apa pun. Sepertinya, ia masih teramat berduka dan kecewa. Betapa tidak, usahanya selama ini hanya berbuah sia-sia.
"Dek, jangan begitu. Kita harus optimis ...." Bayu berusaha merayu. "Sudah dua bulan, loh ...." Tambahnya lagi.
"Dua bulan?" Sari mengulang perkataan suaminya, tampak ia mengingat-ingat.
"Betul, sudah dua bulan kejadian itu berlalu. Bagaimana mungkin kamu akan bisa hamil lagi kalau kita tidak melakukannya?" kata Bayu.
Sari menatap dalam-dalam wajah tampan Bayu yang membuatnya begitu tergila-gila. "Maaf, ya Bang ... aku malah jadi lupa akan kewajiban," lirih wanita itu penuh sesal.
"Gak papa, Dek. Abang ngerti, kok. Tapi kamu jangan berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini ...," ucap Bayu sambil tersenyum.
"Bang ... aku pingin segera hamil lagi ...," kata wanita itu dengan wajah memerah, ia menunduk malu.
"Maksudnya gimana, nih?" tanya Bayu pura-pura tidak mengerti. Laki-laki itu bersorak dalam hati dengan gelagat yang ditunjukan oleh sang istri.
"Maksudnya, ya ...." Sari tidak meneruskan perkataannya.
"Maksudnya seperti ini?" tanya Bayu sambil mengedipkan sebelah mata dan mengusap lembut leher Sari dengan punggung jemarinya.
Sari memejamkan mata merasakan sensasi geli yang diberikan oleh Bayu, suaminya. Tanpa sadar, bibirnya mendesah lirih, yang membuat laki-laki itu semakin terbakar nafsu.
***
"Kali ini aku tidak boleh kecolongan lagi. Jangan sampai aku salah sasaran seperti waktu itu, jadi senjata makan tuan," lirih Bayu sembari mengangguk-angguk pelan. "Korban berikutnya sudah ada. Bayi Mbak Anis ...." Tambahnya lagi.
"Bang. Apa maksud, Abang? Korban? Korban apa? Bayi Mbak Anis kenapa?" Rentetan pertanyaan dari Sari begitu mengejutkan Bayu yang tidak menyadari akan kedatangan dirinya.
"Ee ... Dek. Korban apa? Bayi apa? Abang nggak bilang begitu?" Bayu tampak sangat gugup.
"Aku tidak tuli, Bang?! Tolong jelaskan apa maksud dari perkataan, Abang barusan!" Desak Sari dengan wajah memerah.
"Abang tidak bilang, akan menumbalkan bayi Mbak Anis ...," terang Bayu.
"Menumbalkan bayi?" Sari mengulang perkataan suaminya.
"Oh, maaf. Abang salah bicara ...." Wajah Bayu terlihat pucat pasi.
"Abang, jujur sama aku!" Desak Sari sembari berjalan mendekat dengan tatapan mata yang yang begitu tajam.
"Dek. Abang salah bicara ...." Bayu tetap mengelak.
"Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi, Bang ...!" ucap Sari dengan emosi. "Apa maksud dari, senjata makan tuan. Apa, Bang?!" Suara wanita itu terdengar menggelegar.
"Dek. Pliiis ...."
"Tolong jelaskan!" Sari terus mendesak.
"Oke. Oke! Abang memakai pesugihan. Puas?!" Pengakuan dari Bayu hampir membuat Sari jatuh pingsan.
"A-apa? Pesugihan? Dengan menumbalkan janin-janin tak berdosa termasuk janin kita sendiri?" Sari terduduk di lantai, tubuhnya mendadak lemas.
"Abang terpaksa, Dek. Abang terpaksa!" kata Bayu sembari menangis. Dipeluknya tubuh sang istri yang juga menangis tersedu.
Sungguh Sari tidak menyangka, bahwa suami yang sangat ia cintai, sanggup berbuat hal sekotor itu. "Aku kecewa sama, Abang. Aku kecewa ...!" teriaknya sambil mendorong tubuh Bayu yang masih mendekapnya. Segera ia berlari ke kamar untuk mengemasi semua pakaian miliknya.
"Dek, mau ke mana? Tolong jangan pergi, Dek ...." Pinta Bayu sambil berlutut di hadapan wanita yang teramat dicintainya itu.
"Cukup, Bang. Cukup! Aku tidak mau hidup bersama dengan orang yang bersekutu dengan iblis!" kata Sari lirih namun penuh penekanan.
"Dek, ampuni Abang, Dek ...." Bayu bersujud di kaki sang istri.
Sari menggeser kakinya, dan kembali mengemasi pakaian. Segera ia pergi dengan mengendarai taksi yang kebetulan melintas di jalan depan rumahnya. Sekarang bukan lagi rumahnya, tapi rumah Bayu ....
"Sayang ...!" teriak Bayu sambil berlari mengejar.
***
"Nyai. Keluar, Nyai ...!" teriak Bayu sembari menatap ke sekeliling. "Jangan sembunyi kamu!" Tambahnya lagi dengan mata yang memerah karena dibakar amarah.
"Hahahaaa ... ada apa budakku? Apa yang kau inginkan?" tanya wanita itu begitu menampakkan wujud.
"Ini semua gara-gara, Nyai! Istri saya jadi pergi!" ujar Bayu dengan emosi.
"Bukankan ini semua kemauanmu?"
"Saya cuma ingin kaya, Nyai. Bukan ingin kehilangan bayi dan istri saya ...! geram Bayu.
"Semuanya terjadi karena kecerobohanmu, Bayu ... jangan salahkan aku!" jawab Nyai Kembang tidak mau kalah.
"Saya tidak mau lagi berurusan dengan, kamu. Saya menyesal ...!" teriak Bayu.
"Hahahaa ... kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti!" ancam iblis wanita itu.
"Ambil uangmu, Bayu." Terdengar suara Nyai Kembang di tengah lamunannya.
"Aku tidak membutuhkannya lagi," ketus Bayu seraya merebahkan bobot tubuhnya di tempat tidur yang penuh dengan kenangan indah bersama dengan Sari.
"Itu tetap tidak akan menghapuskan kewajibanmu kepadaku," ucap wanita itu datar.
"Aku tidak perduli! Aku tidak perduli!" teriak laki-laki itu sambil menutup wajahnya dengan bantal.
"Baiklah ...." Wanita itu segera berlalu.
***
"Hueek ... hueek ...." Terdengar Sari yang sedang muntah-muntah di kamar mandi.
"Sari, kamu kenapa, Nak?" teriak sang Ibu sembari menyusul anak bungsunya itu ke kamar mandi. "Astaghfirullah ... Sari. Kamu kenapa?" tanya Ibu Sari panik begitu ia sampai di sana.
"Perutku mual, Bu," jawab Sari sambil memegangi perutnya yang terasa seperti diputar-putar.
"Sari. Jangan-jangan ... kamu hamil, Nak?" ujar sang Ibu dengan wajah sumringah.
"Ha-hamil, Bu?" Sari mengulang perkataan Ibunya. Kenapa ia bisa sampai lupa dengan tanda-tanda ini, padahal baru beberapa bulan yang lalu ia mengalaminya.
"Iya, Nak. Biar nanti Ibu suruh Bik Atun pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan, ya?" kata perempuan paruh baya itu dengan penuh semangat.
"Tapi, Bu ... aku mau pisah sama laki-laki itu ...," kata Sari dengan wajah masam.
"Sari, sebenarnya ada apa dengan kalian? Jangan karena keguguran kemarin kamu jadi menyalahkan dan membenci suamimu ...," nasihat sang Ibu.
Memang, Sari tidak pernah bercerita kepada siapa pun mengenai permasalahan yang membuatnya ingin berpisah dengan Bayu. Dia lebih memilih untuk menyimpan rahasia itu sendiri.
"Kepalaku pusing, Bu. Aku mau istirahat." Sari beralasan agar bisa terbebas dari semua tanya sang Ibu.
"Ya, sudah. Tapi nanti jangan lupa turun untuk sarapan, ya?" Pesan Ibu Sari dengan nada lembut.
"Iya, Bu," jawab Sari sembari merebahkan bobot tubuhnya.
***
"Aahhh ... siapa kamu! Pergi ...! Jangan ganggu aku!" teriak Sari sembari melempar sosok wanita cantik itu dengan daun-daun kering dan juga ranting yang ia dapati di sekitarnya.
"Hahahaa ... tidak mudah untuk bisa terlepas dari jerat ini!" kata wanita yang tidak lain adalah Nyai Kembang, sesembahan Bayu, suami Sari.
"Apa salah saya? Saya tidak mengenal kamu!" hardik Sari sambil terus beringsut mundur.
"Kamu memang tidak mengenalku, tapi suamimu ... dia budakku!" ujar wanita cantik itu sambil tersenyum sinis.
"Pergi, aku tidak ada urusan denganmu!" Usir Sari seraya melempar wanita itu dengan batu yang ditemukannya. Tapi batu itu seperti menembus begitu saja.
"Aku akan segera pergi, tapi setelah mengambil anakmu!" ucapnya kemudian tertawa.
"Tidaaak ...!" teriak Sari sembari mendekap perutnya.
"Sari, bangun. Kamu mimpi, Nak?" panggil sang Ibu seraya mengguncang lengan Sari.
"Hah!" Sari membuka mata. Terlihat wajahnya begitu mengkilap akibat dari peluh yang membanjiri.
"Kamu mimpi apa, Sari?" Kembali Ibunya bertanya. Tangannya mengusap wajah basah sang putri.
"Aku ... aku mimpi hamil, Bu," terang Sari masih dengan nafas yang tersengal.
"Ini, minum dulu," kata Ibu Sari seraya menyodorkan segelas air putih.
***
"Mana Persembahanmu, Bayu ... aku sudah menunggu ...." Kembali iblis wanita itu menagih. Malam ini, memang tepat tiga bulan dari tumbal terakhir yang ia terima.
"Aku tidak mau lagi! Terserah ...," jawab Bayu sembari memeluk guling. Matanya terpejam enggan menatap.
"Sungguh? Baiklah ... jangan sampai terjadi penyesalan untuk yang kedua kalinya," lirih Nyai Kembang sembari berlalu pergi.
Sepeninggal wanita itu, Bayu beranjak bangun. "Apa maksud perkataannya tadi?" Bayu berbicara sendiri. "Jangan-Jangan ... Sari hamil?" ucapnya lagi.
Segera ia melompat turun dari tempat tidur dan mengambil kunci mobil yang tergeletak begitu saja di lantai. Mobil hitamnya melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang diterangi oleh lampu-lampu jalan dan lampu-lampu dari kendaraan lain.
Jam di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 23.30 malam. Itu berarti, waktunya tidak banyak lagi untuk dapat menyelamatkan bayi yang mungkin tengah di kandung oleh sang istri.
"Ubah takdirmu jika kau mampu, Bayu!" Terdengar suara yang begitu membuat Bayu naik pitam.
"Tutup mulutmu, wanita iblis!" bentak Bayu dengan geram.
"Hahahaa ... lawan aku jika memang kau sanggup, budakku ...!"
***
"Aauuu ... Ibu!" teriak Sari sembari menekan perutnya yang terasa begitu sakit luar biasa. Wanita itu berusaha untuk keluar dari kamar, tapi rasa sakit yang ia tanggung tidak mampu membuatnya untuk melangkahkan kaki. Akhirnya, ia luruh terduduk di lantai. "Aaaa ...!" jeritnya kemudian bersamaan dengan darah yang mengalir deras dari bagian bawah tubuhnya. "Ibu ...," pekiknya lemah.
"Sari?" Sang Ibu terbangun dari tidur dan bergegas ke kamar putrinya. Dengan tergesa-gesa ia menuju ke kamar Sari. Matanya terbelalak seketika saat mendapati putrinya tergeletak di lantai dengan darah yang membuat kepalanya mendadak menjadi berat.
"I-Ibu ...," lirih Sari sambil mengulurkan sebelah tangannya.
"Nak ...."
Wanita paruh baya itu menjerit sembari berlari masuk menghampiri putrinya yang tergeletak lemas dengan darah segar yang terus merembes keluar.
"Ibuu ...." Kembali Sari memanggil dengan bibir gemetar, wajahnya tampak memucat.
"Ya, Allah ... kenapa bisa begini?" pekik sang Ibu sembari mendekap tubuh tak berdaya Sari. "Bik Atun!" teriak wanita itu memanggil ARTnya. Tapi yang dipanggil sepertinya tidak mendengar.
"I-Ibu ... perutku sa-sakit, Bu ...," lirih Sari.
"Iya, Nak. Tunggu sebentar, ya?" ucap sang Ibu sembari berlari keluar.
"Hahahaaa ... itulah akibatnya kalau berani mengkhianati aku." Tiba-tiba saja Nyai Kembang sudah berdiri di hadapan Sari yang masih terus merintih.
"Perempuan iblis!" hardik Sari di sela rintihannya.
"Suamimu jauh lebih jahat dari aku!" jawab iblis wanita itu sembari menatap tajam Sari yang semakin tidak berdaya.
"Tolong dibantu, Bik, Mang ...," kata Ibu Sari yang sudah kembali lagi bersama dengan Bik Atun dan juga Mang Lihin, tukang kebunnya.
"Astaghfirullah ...," ucap kedua orang itu bersamaan. Segera mereka membopong tubuh lemah Sari.
"Sari!" panggil Bayu yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu.
"Bayu, kamu datang tepat waktu. Ayo, segera kita bawa istrimu ke rumah sakit." Titah perempuan paruh baya itu.
"I-iya, Bu. Ayo!"
***
"Bagaimana, Bayu? Masih menganggap ancamanku hanya sebuah gurauan?" Suara Nyai Kembang menggema di telinga Bayu.
"Perempuan setan!" teriak laki-laki itu yang membuat Ibu mertuanya dan juga Bik Atun begitu terkejut.
"Bayu. Kamu kenapa?" tanya mertuanya dengan mata terbelalak.
"Ee-enggak, Bu. Nggak papa," jawab Bayu gugup.
Cukup lama mereka menunggu dengan gelisah, tapi ... belum seorang pun yang keluar dari ruang, di mana Sari ditangani.
"Sari, maafkan Abang. Maafkan Abang," lirih Bayu yang ternyata didengar oleh Ibu mertuanya.
"Sebenarnya ada apa dengan kalian, Bayu? Kenapa Sari bersikukuh ingin berpisah dengan kamu?" tanya wanita itu yang membuat wajah Bayu memucat.
"Emm ... ceritanya panjang, Bu," jawab Bayu gugup.
"Ibu ... Bayu. Bagaimana keadaan Sari?" tanya Anis yang baru saja datang dengan suaminya.
"Anis ...," panggil sang Ibu.
"Bagaimana keadaan Sari?" Kembali Anis mengulang pertanyaannya.
Wanita paruh baya itu tidak menjawabnya, ia menoleh ke arah Bayu yang masih tertunduk.
"Bagaimana keadaan Sari! Kenapa semuanya diam?" Anis tampak khawatir.
"Sa-Sari ... sepertinya keguguran lagi, Mbak," jawab Bayu lirih.
"Apa?!" Anis hampir saja terjatuh bila saja sang suami tidak segera merengkuhnya.
"Dokter?" ucap Bik Atun yang membuat semuanya menoleh.
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?" Bayu menghambur ke arah sang dokter diikuti yang lainnya.
"Kondisi pasien lemah, tapi tidak terlalu mengkhawatirkan," jelas dokter itu. "Tapi mohon maaf, janinnya tidak dapat kami selamatkan." Tambahnya lagi.
"Ya, Allah ...!" pekik Ibu Sari sembari menangis.
Anis diam tertunduk, airmatanya jatuh menetes.
***
"Usir laki-laki itu dari sini! Aku tidak sudi melihatnya!" teriak Sari sembari menunjuk ke arah Bayu.
"Sari, jangan begitu ... ini bukan salah Bayu." Ibunya menasihati.
"Iya, Ri. Ini musibah ...." Anis menambahkan.
"Sari. Maafkan Abang ...." Bayu terduduk di lantai, airmatanya deras mengalir.
"Maaf? Setelah kedua calon anakku meninggal karena perbuatan kotormu?!" Sari terlihat begitu murka.
"Sari ... itu bukan keinginan Abang. Sungguh ...." Bayu berusaha membela diri.
"Ada apa ini?" Anis tampak begitu penasaran. "Tolong jelaskan, Bayu." Wanita itu menatap tajam ke arah Bayu yang masih terduduk di lantai.
"Ampuni aku, Mbak Anis ...," ucap Bayu sesenggukan.
"Ada apa ini?" Suami Anis ikut bertanya.
"Mas ... kegugurannya Sari dan Mbak Anis, semua karena ulahku, Mas. Karena pesugihan yang aku pakai," terangnya seraya memegang kaki Kakak Iparnya tersebut.
"Apa?!" kata semuanya hampir bersamaan.
"Baji***n kamu, Bayu! Jahat kamu!" Anis memukuli Adik Iparnya itu dengan tas yang dibawanya.
"Ampun, Mbak ... ampun ...." Bayu bersujud di kaki wanita yang tengah murka itu.
***
"Karena kau telah memilih untuk mengkhianatiku, maka dari itu ... terpaksa aku harus merenggut nyawamu sesuai dengan perjanjian kita!" kata iblis wanita itu sembari menatap nanar ke arah Bayu yang duduk tersandar di dinding kamar.
Laki-laki itu hanya diam sambil tersenyum dan sesekali tertawa. Terkadang juga ia tampak menangis.
"Apa kau sudah siap, Bayu?!" Kembali iblis itu berkata sembari berjalan mendekat.
"Sari ...." Bayu menyebut nama istrinya sembari menagis.
"Waktumu sudah habis, Bayu! Inilah saatnya. Kematianmu, menambah kekuatanku!" Nyai Kembang tergelak. Tampak ia bersiap dengan selendang merah yang akan ia lilitkan di leher Bayu, budaknya.
"Tunggu!" teriak Sari yang tiba-tiba saja muncul dengan membawa lampu minyak yang selama ini tidak pernah padam. Entah dari mana ia tau, jika lampu tersebut adalah kelemahan iblis itu.
Nyai Kembang begitu terkejut dengan kedatangan Sari, terlebih karena istri dari Bayu itu membawa lampu yang menjadi kelemahannya.
"Jangan macam-macam!" bentak iblis itu sembari berjalan mendekat.
"Sudah begitu lama kau memperbudak suamiku! Sekarang, binasalah kau iblis jahat!" teriak Sari kemudian meniup lampu minyak yang menjadi salah satu persyaratan untuk ritual yang Bayu lakukan.
"Aaahhh ...!" pekik Nyai Kembang. Perlahan, wajah cantiknya berubah menjadi tua dan begitu menyeramkan. Rambutnya yang hitam berkilau berubah menjadi putih. Tiba-tiba ... tubuhnya berubah menjadi kepulan asap hitam dan kemudian menghilang.
"Aku menyelamatkanmu karena aku ingin kau bertaubat, Bang. Aku tidak ingin melihatmu mati dalam dosa ...," ujar Sari sembari menatap sang suami yang terus tertawa tanpa sebab.
***
"Nak ... di mana kamu, Nak? Yuk, main sama Papa?" kata Bayu sembari mencari-cari ke setiap sudut ruang.
"Bang ...," panggil Sari seraya membawa segelas air putih dan beberapa butir obat.
"Eh, Dek. Kamu lihat anak kita nggak?" tanya Bayu sambil mengacak-acak rambut gondrongnya.
"Minum obat dulu, yuk?" Ajak wanita itu kemudian.
"Dek, jangan-jangan anak kita diambil sama nenek lampir itu?" Wajah Bayu menjadi merah padam. "Awas dia, aku tidak akan mengampuninya!" teriaknya.
Komentar
Posting Komentar