TUMBAL PESUGIHAN PART 3

#Tumbal_Pesugihan

Oleh: Adh Va
"Kok, repot-repot gini, Ri ... banyak sekali lagi bawaannya?" kata Anis sembari menenteng beberapa paper bag yang Sari sodorkan.
"Gak banyak, Mbak ... ini wujud dari rasa bahagia kami, karena mau punya keponakan baru ...," jawab Sari sambil tersenyum.
"Terimakasih, ya ... Ri, Bay," ucap Anis sambil tersenyum.
"Mas Galang mana, Mbak?" tanya Bayu sembari menghempaskan pantatnya di sofa berwarna maroon.
"Tadi pamit keluar sebentar. Nah, itu orangnya," kata Anis sembari menunjuk ke luar.
"Assalamu'alaikum ...," ucap Galang sembari melangkah masuk.
"Wa'alaikumsalam ...," jawab semuanya hampir bersamaan.
"Wah, ada tamu jauh, nih?" ujar Galang tampak bahagia. Setelah menyalami Bayu dan Sari, laki-laki itu duduk di samping istrinya sembari sekilas mengelus perut ramping wanita itu.
Setelah cukup lama mengobrol, kini tiba saatnya acara makan-makan, yang tentunya akan membuat Anis dan Galang kehilangan bayinya ....



***
"Bagus, Bayu ... Persembahanmu telah aku terima ... makin berlimpahlah hartamu!" ujar Nyai Kembang dengan sorot mata penuh kepuasan.
"Terimakasih, Nyai ... terimakasih ...," ucap Bayu senang. Terlihat ia meraup uang tersebut dan memeluknya. Kertas berangka itu benar-benar telah membuatnya lupa akan segalanya ....
"Bang! Abang ...!" Terdengar Sari memanggilnya. Buru-buru ia meninggalkan ruang rahasia itu tanpa membawa serta uangnya.
"Iya, Dek. Ada apa? Kok, teriak gitu malam-malam?" tanya Bayu sembari berjalan menghampiri istrinya yang sudah berada di ruang makan.
"Abang, dari mana?" tanya wanita itu kemudian.
"Dari ... dari gudang," jawab Bayu agak gugup. Terlihat ia menggaruk kepalanya.
"Bang, Mbak Anis keguguran!" Sari memberitahu.
"Apa. Keguguran!" Bayu pura-pura terkejut.
"Iya, Bang. Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Ajak Sari sambil menarik tangan laki-laki itu.
"Kamu gak ganti baju dulu? Masa' pake lingerie seperti itu?" kata Bayu sembari mengernyitkan keningnya.
"Astaga. Aku lupa, Bang. Aku panik banget," kata Sari sembari memegang keningnya yang tampak sedikit berkeringat.
***
Terlihat Anis menangis sembari memegangi perutnya yang tidak lagi berisi janin yang begitu diharapkannya.
"Mbak Anis, Mbak yang sabar, ya? Ini sudah kehendakNya," ujar Sari berusaha memberi kekuatan.
Sementara Bayu hanya terdiam sembari menunduk, seperti ada rasa penyesalan yang terlihat di wajahnya.
"Eh, Bayu ... Sari, kalian sudah datang?" ucap Galang yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Iya, Mas. Kami turut berduka cita, ya, Mas ...,' kata Bayu sembari menepuk pundak Kakak Iparnya itu.
"Iya, Bay. Makasih, ya?"
"Anis ...!" panggil Ayah dan Ibu dari Anis dan Sari begitu mereka muncul di ambang pintu.
Segera Bayu, Galang, dan Sari menyalami kedua orang yang sangat mereka hormati itu.
"Bagaimana dengan calon cucu Ibu?" tanya wanita paruh baya itu entah kepada siapa.
"Iya, bagaimana dengan kandungan Anis?" Suaminya menimpali.
"Anis ... keguguran, Yah ... Bu ...," jawab Galang sembari menunduk.
"Astaghfirullah ...," ucap Ayah dan Ibu bersamaan.
***
"Oweee ... oweee ...." Bayi yang masih begitu kecil itu terdengar menangis dengan suara yang terdengar nyaring. Ia merangkak mendekati Bayu yang masih tergeletak di kursi ruang tunggu.
"Hah!" Bayu tersentak kaget dan segera bangkit dari tempatnya berbaring.
Bayi mungil yang masih berlumuran darah itu melompat ke atas pangkuannya, yang membuat laki-laki itu begitu ketakutan. Segera ia berdiri dan melemparkan bayi tersebut.
"Bang, ada apa?" tanya Sari yang baru saja keluar dari kamar Anis, Kakaknya.
"Enggak. Gak papa, Dek," jawab Bayu dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Baaaang ...?" Sari tampak tidak percaya.
"Abang, cuma mimpi tadi," jawab Bayu berbohong sembari mengusap wajahnya.
"Loh, ini bajunya kenapa? Seperti darah?" tanya wanita itu sembari memegang bagian bawah dari kemeja putih yang dipakai suaminya.
"Hah, da-darah?" Bayu melihat ke bagian bawah kemejanya. Memang benar, ada bercak darah di sana.
"Darah apa ini, Bang?" Sari begitu panik dan takut.
"Abang juga nggak tau, Dek. Sungguh!" terang Bayu sembari berusaha membersihkan noda darah itu dengan tisu.



***
"Bang, kasihan Mbak Anis, ya? Padahal dia sudah menunggu lama untuk bisa hamil lagi," ujar Sari sembari meletakkan kepalanya di dada bidang Bayu.
"Iya, sih. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga takdir," jawab Bayu seraya mengusap lembut pucuk kepala istrinya.
"Semoga saja dia bisa secepatnya hamil lagi, begitu juga dengan aku, sudah dua tahun, loh, Bang, kita menunggu ...," kata Sari sambil menatap wajah tampan sang suami.
"Semoga saja, Sayang. Abang juga sudah tidak sabar lagi ingin secepatnya bisa punya anak dari kamu," jawab laki-laki itu.
"Aamiin ... semoga saja, Bang." Sari mengaminkan.
"Kita coba buat sekarang? Siapa tau jadi?" ujar Bayu sambil tersenyum.
"Ih ... Abang modus," ujar Sari sambil mencubit dada suaminya, wajahnya tampak memerah.
"Tapi suka, kan?" Goda Bayu sambil tersenyum nakal.
"Abaaaang ...." Wanita itu memukul pelan dada kotak-kotak tersebut.
Tiba-tiba, mata Bayu terbelalak menatap ke arah pintu. Ia beringsut bangkit dan sedikit memundurkan pantatnya.
"Abang, kenapa?" tanya Sari terlihat takut. Ia ikut menatap ke arah pintu, tapi tidak ada apa-apa di sana.
"Enggak. Gak papa," jawab Bayu berbohong. Nafasnya terlihat naik turun tidak beraturan, dan matanya tetap tertuju di tempat yang sama.
"Bang, jangan buat aku takut, deh ...." Sari mengira, Bayu hanya bersandiwara untuk menakut-nakutinya saja.
Tiba-tiba saja, bayi mungil yang dilihat oleh Bayu itu melompat ke arah wajahnya, mencakar serta seperti menghisap mulutnya.
"Pergi! Pergi!" teriak laki-laki itu sembari berusaha melepaskan diri. Tampak ia memukul dan mencakar wajahnya.
"Bang, Abang kenapa? Sadar, Bang?" teriak Sari sembari berusaha menghalangi tangan Bayu yang terus saja melukai dirinya sendiri.
"Pergi! Jangan ganggu aku!" teriak Bayu sambil terus meronta.
"Abang!" Dengan keras Sari menampar wajah Bayu. Sampai-sampai, telapak tangannya terasa begitu panas.
Bayu terdiam seraya memegangi pipinya yang terasa sakit dan panas akibat tamparan dari sang istri.
"Ma-maaf, Bang ... aku nggak bermaksud ...." Wanita itu tidak meneruskan perkataannya karena tiba-tiba Bayu merengkuhnya.
"Dek, maafkan Abang, ya? Abang sudah membuat kamu takut," ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis.
"Abang, kenapa? Kenapa melukai diri sendiri? Itu wajah, Abang, jadi luka semua ...," ujar Sari sambil menangis.

"Aduh ...," pekik Bayu tertahan kala Sari membersihkan luka cakaran akibat ulahnya sendiri dengan air hangat. Tampak ia meringis menahan pedih.
"Tahan dulu, ya, Bang? Sebentar lagi selesai, kok?" ujar Sari lembut.
"Maaf, ya, Dek. Sudah merepotkan kamu malam-malam begini," kata Bayu sambil menatap wajah cantik istrinya.
"Memangnya aku ini siapa, Bang? Kok, minta maaf? Kayak sama orang lain aja. Ini sudah kewajibanku, Bang." Sari berkata sembari terus melakukan pekerjaannya.
Ada rasa sesal di hati Bayu dan ingin segera menghentikan semuanya, tapi ia takut akan ancaman dari Nyai Kembang, wanita yang saat ini masih menjadi sesembahannya.
"Jangan pernah berpikir untuk mengkhianatiku, Bayu!" Terdengar suara yang begitu nyaring di telinga laki-laki itu, iya ... hanya di telinganya saja.
"Ti-tidak. Saya tidak akan berkhianat," ucap Bayu tanpa sadar.
"Abang, tidak akan berkhianat bagaimana? Abang bicara sama siapa?" tanya Sari terheran-heran. Untuk sejenak, wanita itu menghentikan pekerjaannya.
"Hah, memang barusan Abang bilang begitu?" Bayu balik bertanya bagaikan orang bodoh.
"Abang ... jangan bercanda, ya?" ujar Sari sambil bersungut-sungut. Ia mengira kalau Bayu menggodanya.
***
"Kok, banyak noda darah di sini? Darah apa ini?" lirih Sari sembari memperhatikan lantai dapur. Ia sedikit mencondongkan tubuh untuk memastikannya. Benar, itu adalah noda darah yang sudah mulai mengering. "Aneh ...," lirihnya lagi sembari terus menatap noda itu.
Bugg ....
Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang jatuh menimpa punggungnya. "Aauu ...," pekiknya sembari melompat, segera wanita itu menoleh ke belakang. "A-apa itu?" bisiknya sembari memperhatikan gumpalan kecil yang lebih mirip dengan daging.
Tiba-tiba, gumpalan itu terlihat bergerak-gerak dan ... membuka mata. Iya, gumpalan itu tidak lain adalah sesosok bayi yang masih teramat kecil.
"Aaaa ...!" teriak Sari sambil menutup mata. Kakinya terasa begitu kaku dan tidak dapat digerakkan untuk bisa segera pergi dari sana.
"Dek, ada apa?" tanya Bayu yang baru saja datang karena mendengar teriakkan istrinya.
"Abang, i-itu ... ba-bayi ...," ujar Sari sembari menunjuk ke lantai.
"Bayi? Mana? Gak ada apa-apa!" kata laki-laki itu seraya melihat ke arah yang ditunjukan oleh sang istri.
Perlahan wanita itu membuka mata, dan menatap ke arah, di mana tadi tergeletak sesosok bayi yang begitu kecil. "Kok, gak ada? Tadi beneran ada, Bang?" Ia meyakinkan.
"Kamu capek, Dek," kata Bayu berusaha menenangkan. Padahal dia yakin, istrinya itu tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi.
"Ta-tapi ...."
"Nanti kita cari ART buat bantuin kamu, ya? Biar kamu tidak terlalu capek," kata Bayu memotong ucapan istrinya.
Wanita itu tertunduk sembari memijit-mijit keningnya yang terasa sakit.

Link Vidio : https://youtu.be/emJDqdcBW8o

***
"Semoga betah, ya, Mbak Uut, kerja di sini," kata Sari dengan ramah kepada wanita muda yang baru saja datang ke rumahnya.
"Iya, Buk. InsyaAllah betah ...," jawab Uut sambil tersenyum.
"Mari, saya tunjukkan kamarnya," ujar Sari sembari berjalan ke kamar yang ia maksud, dengan diikuti oleh wanita bernama Uut itu.
"Nah ... ini kamarnya, dan di sebelah situ dapurnya," jelas Sari sambil menunjuk ke arah dapur.
"Iya, Bu. Terimakasih ...," jawab Uut sambil mengangguk. Setelah selesai menyusun pakaiannya ke dalam lemari, segera ia pergi ke dapur untuk melihat-lihat dan mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan.
Setumpuk peralatan memasak dan piring kotor bekas sarapan ternyata sudah menunggunya di tempat pencucian piring. Segera ia melakukan pekerjaan pertamanya di rumah itu.
"Oweee ... oweee ...." Terdengar suara tangis bayi yang begitu nyaring.
"Aduh, Bu Sari gimana, sih? Kok, anaknya menangis dibiarkan saja ...," lirih Uut sambil mencuci dan mengeringkan kedua tangannya dengan serbet. Segera ia mencari-cari, dari kamar yang mana suara tangisan itu berasal.
"Kamar yang mana, ya?" lirihnya sambil memasang telinga. "Oh, di sini ...," ucapnya lagi begitu ia sampai di depan salah satu kamar. Dengan sedikit ragu, ia membuka pintu tersebut. Tampak olehnya bayi lucu dan gendut sedang menangis sembari menghisap ibu jarinya.
"Sayang ... kenapa? Mamanya gak dengar, ya?" tanya Uut sambil mengangkat bayi itu dan kemudian menimangnya. "Cup cup cup anak pintar ... jangan nangis lagi, ya?" ujarnya lagi.
"Mbak Uut!" Terdengar Sari memanggil.
"Iya, Bu ...," sahut Uut sambil berlari ke luar dari kamar tersebut. "Maaf, Bu. Ada apa?" Uut bertanya.
"Mbak Uut, tadi lagi cuci piring, ya?" tanya Sari dengan wajah yang kurang enak dilihat.
"I-iya, betul, Bu. Ada apa, ya?" Uut balik bertanya.
"Itu dapurnya banjir," jawab Sari datar.
"Astaghfirullah ... maaf, Bu. Tadi karena mendengar bayi, Ibu, menangis, saya langsung ke kamar tanpa mematikan keran terlebih dahulu ...," terang Uut merasa tidak enak.
"Bayi?" Sari mengulang perkataan ARTnya itu.
"Iya, tapi sekarang sudah tenang, kok, Bu," kata Uut lagi.
"Mana bayinya?" tanya Sari dengan wajah pucat.
"Ini, Bu," kata Sari terheran-heran. Masa' iya, majikannya itu tidak bisa melihat bayi dalam gendongannya.
"Ma-mana?" Sari mengulang pertanyaannya.
"Loh, bukannya tadi saya gendong, ya? Kok, sekarang gak ada?" Uut terlihat panik sembari mencari-cari di bawah, takut kalau ternyata ia telah menjatuhkannya tanpa sengaja.
"Sa-saya belum punya anak, Mbak ...," kata Sari terbata.
"Tapi sungguh, Bu. Memang ada bayi menangis tadi di kamar, dan saya menggendongnya," terang Uut dengan raut wajah yang tampak ketakutan.

Uut terlihat mengepel lantai dapur yang banjir akibat air dari keran yang lupa ia matikan. Sesekali terlihat gadis itu menengok ke samping dan ke belakang, ada rasa takut yang bergelanyut di hatinya.
"Mbak ...," panggil Sari yang menyadari rasa takut dari ARTnya itu.
"I-iya, Bu?" jawab Uut sembari menoleh ke arah majikannya.
"Mbak Uut, masih akan terus kerja di sini, kan?" tanya Sari penuh harap. Setidaknya, dengan adanya Uut, dia jadi tidak sendirian di rumah, kala Bayu sedang ada di luar.
"Memang kenapa, Bu?" Gadis itu balik bertanya. Sejenak ia menghentikan pekerjaannya.
"Nggak papa, cuma tanya aja ...," jawab Sari sembari tersenyum.
"InsyaAllah, Bu ... saya akan tetap bekerja di sini. Karena saya memang sangat membutuhkan pekerjaan ini," kata Uut yang membuat Sari menghela nafas dengan lega.
"Syukurlah kalau begitu," jawab Sari kemudian.
***
"Bang ... temani aku ke dapur, yuk?" Ajak Sari sembari mengguncang pelan lengan suaminya.
"Hemmm ...," guman Bayu sembari menarik kembali selimutnya yang sedikit tersibak.
"Baang ...," panggil wanita itu lagi. Tapi yang dipanggil tidak juga mau membuka mata, sepertinya ia sangat lelah ....
Dengan terpaksa, Sari beranjak pergi ke dapur karena rasa haus yang tidak tertahankan lagi. Langkah kakinya terasa begitu berat akibat rasa takut yang menyerangnya.
"Ah ... akhirnya sampai juga," lirih Sari begitu kakinya menginjak lantai dapur. Segera ia mengambil gelas dan berjalan ke arah kulkas.
Dug dug dug ....
Terdengar suara dari dalam kulkas, semakin lama suaranya bertambah keras.
"Suara apa itu?" lirihnya sembari menghentikan langkah. Jantungnya berdetak tidak beraturan.
Dug dug dug dug dug ....
Suaranya makin panjang dan rapat.
Sari melangkah mundur, takut ....
"Ibu?" panggil Uut yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.
"Astaga! Mbak Uut ...?" Sari menoleh. Tampak wajahnya begitu pucat karena terkejut dan takut. "Saya pikir siapa, Mbak ...." Tambahnya lagi.
Sementara gadis itu hanya terdiam dengan pandangan mata yang terlihat kosong.
Karena merasa sudah ada yang menemani, segera Sari kembali berjalan ke arah kulkas untuk mengambil air dingin. "Aaa ...," teriaknya kemudian begitu pintu kulkas itu ia buka.
Terlihat di dalamnya, meringkuk beberapa bayi yang masih berlumuran darah. "Mbak Uut, i-ituu ...," ujar Sari terbata sembari melangkah mundur.
"Dek, kenapa?" tanya Bayu sembari berlari mendekat.
"Abang, ada bayi di dalam kulkas!" ujar Sari memberitahu. Matanya tetap tertuju pada kulkas berwarna silver itu.
"Mana? Gak ada!" sanggah Bayu sambil memeriksa ke dalam kulkas.
"Tadi ada, Bang ... iya, kan, Mbak Uut?" kata Sari sembari menoleh ke arah di mana tadi Uut berdiri. "Loh, Mbak Uut?" panggil Sari kemudian. Karena gadis itu tidak lagi ada di sana.
"Dek," panggil Bayu sambil menepuk pundak istrinya.
"Mbak Uut mana, Bang?" tanya Sari sambil celingukkan.
"Loh, dari tadi memang sendirian, kan?" kata Bayu yang membuat wanita itu semakin bertambah takut.
"Tadi dia di sini, Bang ... sama aku?" Sari kekeh.
"Kamu salah lihat barangkali, Dek ...."
"Enggak, Bang," jawab Sari meyakinkan.
"Bapak, Ibu ... ada apa, ya?" tanya Uut tiba-tiba.
"Mbak. Mbak Uut, tadi di sini sama saya, kan?" tanya Sari sembari mengguncang lengan gadis itu.
"Enggak, Bu. Saya baru saja datang ...," jelas Uut bingung.
"Ja-jadi tadi si-siapa?" Sari terlihat makin pucat.
***
"Dek, kok melamun?" tanya Bayu sembari menyisir rambutnya. Terlihat laki-laki itu sudah berpakaian rapi.
"Rumah ini kenapa, ya, Bang?" tanya Sari sembari menatap ke luar jendela.
"Kamu cuma capek, Dek. Gak ada apa-apa di sini." Bayu berusaha menenangkan, padahal ia sendiri hidup dalam ketidaktenangan.
"Aku gak betah kalau terus menerus diteror seperti ini, Bang?" ujar Sari sambil menangis.
"Sayang ... percaya sama Abang, gak ada apa-apa ...," kata Bayu sembari memeluk wanita itu dari belakang.
"Tapi, Bang ...."
"Sudah, percaya sama Abang," ucap Bayu memotong perkataan istrinya. "Bagaimana kalau kita shopping aja, ke mall?" Tambah laki-laki itu lagi.
"Serius? Memang, Abang, ada waktu?" Sari terlihat begitu senang. Wajahnya yang tadinya murung menjadi berbinar.
"Iya. Cepetan mandi, Abang tunggu," kata Bayu sambil tersenyum.
"Terimakasih, ya, Bang?" kata Sari sembari memeluk erat suaminya.
"Iya, Sayang ... cepetan, gih ...?" ujar Bayu lagi.
***
"Ambil semua yang kamu mau, yang penting kamu senang," kata Bayu sembari merangkul pundak istrinya.
"Makasih, ya, Bang ... ini sudah cukup, kok. Abang punya waktu buat aku aja ... aku sudah seneng banget," jawab Sari sambil bergelanyut manja.
"Maaf, ya, Dek. Karena sibuk, Abang jadi jarang ada waktu buat kamu." Bayu mengelus lembut pucuk kepala sang istri.
"Gak papa, Bang. Abang begitu juga, kan, demi masa depan kita," ujar Sari sembari menatap wajah tampan Bayu.
"Kita cari makan, yuk. Abang lapar." Laki-laki itu mengusap perutnya.
"Ayuk ... aku juga sudah lapar, Bang." Sari menimpali.
Segera mereka berdua menuju ke salah satu tempat makan yang ada di mall tersebut.
"Kamu mau makan apa, Dek?" tanya Bayu sambil melihat-lihat menu.
"Bebek goreng enak sepertinya, Bang ...," ujar Sari sembari menelan saliva.
"Oke."
Setelah memesan makanan yang mereka inginkan, tidak lama kemudian ... pramusaji datang membawakan apa yang mereka berdua pesan. "Silahkan ...." Ia mempersilahkan.
"Makasih, ya?" jawab Sari dan Bayu hampir bersamaan.
"Ayo di makan," suruh Bayu sembari meletakkan bebek goreng itu ke dalam piring istrinya.
"Aaa ...!" Sari menjerit sekencang-kencangnya sambil melemparkan piring berisi bebek goreng yang baru diberikan oleh Bayu.

BERSAMBUNG

Komentar

Postingan populer dari blog ini