RUMAH NOMOR 21 PART 1



Oleh: Adh Va

"Siapa kalian!!" Seru Dimas pada lima orang bertopeng yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Sementara Astri istrinya sibuk menutupi tubuhnya yang polos dengan selimut sembari meringkuk ketakutan.

"Bereskan" perintah salah seorang dari mereka.




Tanpa diperintah dua kali, empat orang yang mungkin anak buah dari yang mengkomando menyeret Dimas yang hanya memakai CD dari tempat tidur dan menghajarnya habis-habisan hingga meregang nyawa.

"Jangan ... ! Hentikan ... ! teriak Astri sembari menangis menyaksikan orang yang baru menikahinya dua hari yang lalu itu sekarat. Hanya dengan berbalut selimut, segera ia menghambur ke arah suaminya yang bersimbah darah.

"Mau kemana, Sayang?" tanya seseorang yang mungkin adalah bosnya sembari mencekal lengan Astri.

"Lepas, biadab kalian semua. Apa salah kami, hah!" hardik Astri sambil berurai air mata.

"Kesalahan kalian adalah ... menikah ... " jawab laki-laki itu sambil membuka topengnya, ia tampak tersenyum puas.

"Arman?" Astri terkejut dan seakan tidak percaya dengan siapa yang dilihatnya.

"Iya, aku Arman, orang yang kamu tinggalkan demi laki-laki berengsek itu!" ujar laki-laki yang ternyata bernama Arman itu sembari menunjuk ke arah Dimas yang tergeletak tak berdaya.

"Jahat kamu!" teriak Astri.

Tanpa memperdulikan ucapan Astri, Arman mendorong tubuh wanita itu ke tempat tidur dan langsung menindinya. Tidak begitu susah untuk menaklukannya, karena Astri memang sudah tidak mengenakan apa-apa selain selimut yang membungkus tubuhnya.

"Bajingan kamu!" maki Astri berusaha melawan. Tapi apalah artinya tenaga wanita dibanding pria ... akhirnya, hancurlah kehormatan Astri di hadapan suaminya sendiri.

Dimas yang tergeletak tak berdaya hanya menangis tanpa bisa melakukan apa-apa untuk melindungi orang yang dicintainya.

Ternyata tidak sampai di situ, dengan sadis, Arman menghabisi pasangan pengantin baru itu dengan cara menembak pelipis keduanya dengan menggunakan pistol yang dibawanya.

**********




"Kamu suka rumahnya, Beib?" tanya Pandu pada Nara yang sedang asyik memeriksa semua sudut dari rumah yang baru Pandu beli untuk mereka.

"Suka banget, Beib ... kayaknya nyaman, makasih ya, Beib ... " jawab Nara sembari memeluk laki-laki yang baru menghalalkannya seminggu yang lalu.

"Sama-sama, Beib ... " Pandu balas memeluk istrinya itu dengan erat. "Kita lihat kamarnya?" ucap Pandu lagi.

"Ayo," Dengan setengah berlari, Nara menaiki anak tangga untuk melihat kamar mereka yang ada di lantai atas.

"Hati-hati, Beib ... " Pandu mengingatkan.

"Kreeek ... " suara pintu terdengar ketika Nara membukanya. "Brrrr ... " seperti ada yang lain dengan kamar ini, bulu kuduk Nara seketika meremang.

"Beib, ini kamar kita?" Nara bertanya.

"Iya, kamu suka kan?" Pandu balik bertanya.

"I-iya, su-suka banget," jawab Nara terbata. Sebenarnya dia merasa kurang cocok dengan kamar itu, tapi dia tidak ingin membuat Pandu kecewa karena sudah susah payah mendekorasinya hingga sedemikian rupa.

"Nuansa biru muda kesukaan kamu, Beib," ujar Pandu.

"Iya ... makasih banyak ya, Beib," ucap Nara sembari memeluk.

"Iya, Beib ... " jawab Pandu, kemudian dikecupnya dengan lembut kening istrinya yang sedikit tertutup rambut.

**********




"Ting tung ... " suara bel berbunyi.

"Mungkin itu Mbak Siti, Beib," ujar Pandu.

"Sebentar ya, Beib, aku lihat dulu," pamit Nara dan segera berlalu meninggalkan Pandu yang masih menikmati makan malamnya.

Dengan setengah berlari, Nara ke ruang depan dan membukakan pintu.

"Malam, Buk ... " sapa Mbak Siti sembari sedikit membungkuk.

"Mbak Siti, kok malam baru datang?" tanya Nara.

"Maaf, Buk, tadi ada sedikit urusan," jawab Mbak Siti memberi alasan.

"Ya udah, yuk masuk," ajak Nara dengan ramah. Mbak Siti adalah anak dari pembantu yang bekerja di rumah keluarga Pandu.

"Beib, ini Mbak Siti sudah datang," Nara memberi tahu.

"Mbak Siti, ayo ikut makan sekalian," ajak Pandu.

"Nggak usah, Pak, makasih, sudah tadi," Mbak Siti menolak.

"Betul?" Nara kurang yakin.

"Betul, Buk ... "

"Ya sudah, yuk aku tunjukin kamarnya," ujar Nara sembari berjalan kesebuah kamar dengan warna cat kuning.

**********



"Beib, mengukir kenangan pertama di rumah baru yuk," rayu Pandu pada istrinya yang sedang memainkan gawainya.

"Tar dulu, Beib, aku masih chatingan sama temen aku," jawab Nara tanpa berpaling dari layar benda pipih itu.

"Beib," Pandu memeluk Nara dari belakang seraya menciumi leher bagian belakang Nara.

"Beib, geli ah," Nara menggeliat sambil tertawa.

"Udah dulu deh chatingannya ... temen kamu juga pasti tau rutinitas pengantin baru," ujar Pandu sembari meraba tubuh bagian depan istrinya yang masih terasa  kencang.

"Iya ... iya ... sebentaaaar lagi," kata Nara.

Pandu merebahkan tubuhnya di samping Nara dengan wajah kecewa. Tangannya mengelus-elus pinggang Istrinya itu dengan lembut.

5 menit kemudian ...

"Beib ... kok gak sudah-sudah sih, katanya sebentar lagi?" protes Pandu. Diambilnya benda pipih itu dari tangan istrinya dan dimatikannya.

"Beib ... "

Ucapan Nara terhenti seketika saat bibir Pandu menempel ke bibirnya. Dengan perlahan Pandu mendorong perlahan tubuh Nara sehingga posisinya kini jadi berbaring.

Dengan begitu agresif, Pandu mencumbu istrinya itu hingga membuat wanita itu terasa melayang. Desahan demi desahan yang keluar dari bibir Nara makin membuat Pandu bernafsu.

Kini keduanya sudah polos tanpa sehelai benangpun dan siap melakukan sebuah hubungan yang dapat memacu detak jantung jadi semakin cepat.

Saat Pandu sudah siap dengan kuda-kudanya ...

"Aahhhh ... " Nara berteriak sembari mendorong  tubuh Pandu sekuat tenaga hingga menyebabkan laki-laki itu terjungkal ke belakang.

"Beib, ada apa, Beib?" tanya Pandu terheran-heran sembari berusaha menarik kedua tangan Nara yang menutupi wajahnya.

"Pergi ... pergi ... !" pekik Nara masih tetap dengan menutup wajahnya.

"Beib, sadar, Beib," Pandu memeluk Nara yang berontak dan berusaha melepaskan diri.

"Tidaaaak, jangan ganggu aku ... !" teriak Nara.

"Beib!" Pandu kembali menarik tangan Nara hingga kini wajah pucatnya terlihat. 

Nara menatap wajah Pandu dengan seksama, seolah ingin memastikan dia tidak salah lihat, "Beib ... " Nara memeluk Pandu dengan erat sembari menangis.

"Kamu kenapa, Beib?" Pandu bertanya sembari mengusap-usap rambut Nara.

"Tadi aku lihat kamu seperti pria lain dengan wajah berlumuran darah, Beib," terang Nara sambil menangis.

"Kamu kecapean barangkali, ya udah, kamu istirahat aja ya," tutur Pandu sembari mengambilkan pakaian Nara yang tergeletak di sampingnya.

Dengan dibantu Pandu, Nara mengenakan kembali pakaiannya, begitu juga dengan Pandu. Gagal sudah malam pertama di rumah baru mereka ...

**********



"Beib ... " panggil Nara saat dilihatnya Pandu tidak ada di sampingnya. Matanya terlihat mencari-cari tanpa berani turun dari tempat tidur.

Sepertinya hari sudah siang, karena dari jendela tampak keadaan di luar yang sudah terlihat terang, matahari pun sedikit menerobos masuk dari hordeng yang sedikit tersingkap.

"Beib ... " kembali ia memanggil.

"Iya, Beib. Aku di sini," jawab Pandu yang baru saja masuk sembari membawa baki dengan segelas susu dan roti. Ternyata Pandu sudah mandi dan mengambilkan sarapan untuk istrinya.

"Enak tidurnya?" tanya Pandu seraya meletakkan baki yang dibawanya di meja.

Nara hanya tersenyum tanpa menjawab, wajahnya tampak segar tidak seperti semalam.

"Maaf ya, Beib, semalam gak jadi," sesal Nara.

"Gak papa, yang penting nanti malam dobel. Apa diganti sekarang?" canda Pandu.

Nara tertawa mendengar perkataan Pandu, "Boleh ... " ucapnya kemudian.

"Really ... ?"

"Yes," jawab Nara sambil tersenyum. Karena sepertinya dia juga sangat menginginkannya.

Yeah ... pikir Pandu. Kembali ia melanjutkan aksinya yang sempat terhenti semalam. Tak ada kata yang terdengar lagi selain desahan dan nafas yang memburu, juga suara "krit krit krit" dari tempat tidur mereka.

Nara dan Pandu sedang asyik nonton tv sambil bercanda saat terdengan pedagang nasi goreng meneriakkan jualannya.

"Nasi goreng," teriak Abang penjual nasi goreng dengan suara lantang.

"Nasi goreng, Beb, mau?" tanya Nara pada suaminya yang sedari tadi tiduran di pahanya.

"Iya mau, kayaknya enak tuh," jawab Pandu.

"Mbak Siti, beliin nasi goreng di depan dong," teriak Nara tanpa bergeser dari tempatnya semula.

"Iya, Buk," sahut Mbak Siti sambil berjalan dari arah dapur dengan membawa dua buah piring.

"Loh kok dua? Mbak Siti gak mau?" tanya Nara.

"Enggak deh, Buk, saya kurang suka," jawab Mbak Siti.

"O ... ya sudah, yang spesial ya, Mbak," pesan Nara sembari menyodorkan sejumlah uang.

"Baik, Buk," jawab Mbak Siti. Segera ia pergi keluar dan memanggil penjual nasi goreng yang sudah berjalan agak jauh dari depan rumah.

"Bang, nasi goreng, Bang!" teriak Mbak Siti.

"O, iya," jawab Abang penjual sembari membelokkan gerobaknya kembali.

"Spesial dua ya, Bang," pesan Mbak Siti ketika Abang penjual sudah sampai di depannya.

"Loh, dua lagi? Memang yang tadi masih kurang ya, Mbak?" tanya Abang penjual heran.

"Dua yang mana, Bang? Orang baru beli ini," jawab Mbak Siti tidak kalah heran.

"Loh, yang barusan loh, Mbak ... dua ... spesial ... " Abang penjual menjelaskan.

"Gak ada, Bang," sanggah Mbak Siti.

Abang penjual itu tampak menggaruk-garuk kepalanya tanpa berbicara lagi, dia terlihat bingung. Dengan cekatan ia segera membuatkan nasi goreng yang dipesan.

"Nih piringnya, Bang," Mbak Siti menyodorkan piring yang dibawanya.

"Ini, Mbak," Abang penjual menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi goreng.

Setelah membayarnya, Mbak Siti segera meninggalkan penjual nasi goreng yang masih tampak bingung.

"Aneh ... " gumam Abang penjual. Tiba-tiba saja tengkuknya terasa berat dan bulu kuduknya meremang.

"Hiiii ... " ucapnya lirih sambil mendorong gerobaknya dengan terburu-buru.

**********



Jam dari ruang tamu berdentang saat waktu menunjukkan tepat pukul 12 malam. Hawa dingin mulai merasuk, bahkan selimut tebal tidak mampu menghangatkan tubuh Pandu dan Nara yang tampak meringkuk.

"Beb, dingin, Beb. Ac nya matiin aja," rengek Nara pada Pandu.

Pandu menggeliat dan perlahan-lahan membuka matanya. Didekapnya Nara dengan erat, lengannya terasa begitu dingin ketika menyentuh kulit Nara.

"Beb, Ac nya matiin," Nara mengulang ucapannya.

Dengan bermalas-malasan Pandu menggapai remot Ac yang tergeletak di meja dekat tempat tidur mereka. Namun entah apa yang disentuhnya sehingga dia menarik kembali tangannya. Suasana kamar yang remang-remang tidak bisa membuat Pandu melihat dengan jelas. 

"Tek" Pandu menyalakan lampu yang ada di dekat tempat tidurnya, seketika ruangan menjadi terang.

"Kok dinyalain lampunya, Beb, silau," protes Nara.

"Iya, bentar dulu, remotnya gak kelihatan," jawab Pandu. Setelah apa yang dicarinya sudah ditemukan, segera ia mematikan Ac nya.

"Tek" Kembali ia mematikan lampu dan suasana menjadi temaram. Dipeluknya kembali Nara yang meringkuk memeluk guling.

"Beb" bisik Pandu.

"Hm" jawab Nara malas.

"Ayo" ajak Pandu sembari makin erat memeluk.

"Aku ngantuk banget, Beb ... besok aja ya?" tolak Nara masih dengan memejamkan mata.

"Ya udah, kamu merem aja, biar aku yang bekerja," Kata Pandu nekat. Segera ia mencumbu berharap Nara akan terangsang.

"Beb ... " keluh Nara.

Mau tidak mau akhirnya Nara terangsang juga, dan pertempuran itu tidak dapat dihindarkan lagi. Keduanya tampak tersengal dengan keringat yang bercucuran.

"Ac, Beb ... " ucap Nara.

Tanpa menjawab, kembali Pandu menyalakan Ac yang baru saja dimatikannya.

"Berarti ini, Beb obat dinginnya, bukan matiin Ac," ujar Pandu sambil tertawa.

"Kamu, ya ... " protes Nara sembari mencubit pinggang Pandu.

"Aku ke kamar mandi dulu ya, Beb," pamit Pandu pada Nara yang tampak masih kelelahan.

Nara hanya mengangguk tanpa mengiyakan. "Apa itu?" bisik Nara sembari turun dari tempat tidur dan berjalan kearah lemari. Pintu lemari itu tampak terbuka dan tertutup dengan sendirinya.

"Apa ada tikus ya?" gumamnya lagi. Dengan hati-hati Nara membuka lemari itu.

"Aaahh ... " ia berteriak ketika melihat ke dalam lemari. Terlihat sosok wanita dengan wajah berlumuran darah dan bola mata yang menggantung disertai bau busuk.

Nara berjalan mundur sembari memegangi selimut yang membungkus tubuhnya. Langkahnya terhenti ketika dia merasa ada yang ditabraknya. Perlahan dia menoleh ke belakang ...

"Aaahhh ... " kembali ia menjerit saat dilihatnya sosok pria dengan kondisi yang sama seperti sosok wanita yang ada di dalam lemari.

Nara berlari dan melompat ke tempat tidur sambil menangis dan menjerit-jerit. Anehnya tidak ada yang mendengar jeritannya, bahka Pandu yang sedang berada di kamar mandi.

Dua sosok itu berjalan mendekati Nara dengan kepala miring seolah tulang lehernya patah. Mulutnya tampak mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman, mungkin itulah penyebab bau busuk yang menyengat.

"Pergi, jangan dekati aku!" teriak Nara sambil terus beringsut mundur.

"Beb, kamu kenapa, Beb?" tanya Pandu yang baru keluar dari kamar mandi.

"Itu ... " tunjuk Nara pada dua sosok mahluk yang menyeramkan itu.

"Itu apa?" tanya Pandu bingung.

"Itu ... " ucapan Nara terhenti saat tidak lagi dilihatnya dua sosok penampakkan itu.

"Beb ... " panggil Pandu sembari duduk di samping Nara  yang masih tampak bingung.

Nara menangis dalam pelukkan Pandu sembari menceritakan apa yang baru saja dilihatnya.

"Mungkin kamu kecapean, Beb. Kamu lihat, gak ada apa-apa kan?" ucap Pandu berusaha menenangkan.

"Tapi aku bener-bener lihat tadi," terang Nara.

"Sssttt ... " Pandu menempelkan jari telunjuknya di bibir Nara.


"Beb, aku berangkat ya," pamit Pandu pada Nara sebelum ia berangkat kerja. Pandu adalah seorang dokter umum disebuah Rumah sakit, dan rencananya dia juga akan membuka praktek di rumah.

"Iya, Beb, hati-hati ya," pesan Nara. Kemudian diciumnya punggung tangan kekasih yang telah menjadi suaminya itu.

"Daa ... " Pandu melambaikan tangan sesaat sebelum masuk ke mobil.

"Daa ... hati-hati, Beb," kembali Nara berpesan dan balas melambaikan tangan.

Pandu mengacungkan ibu jarinya tanpa menjawab. Mobilpun meluncur meninggalkan rumah dengan nomor 21 itu.

Setelah mobil Pandu sudah tidak nampak lagi, Nara bergegas masuk dan langsung pergi ke dapur untuk bantu-bantu Mbak Siti yang sedang sibuk mencuci piring bekas sarapan.

"Sini, Mbak biar aku yang nerusin, Mbak Siti nunggu tukang sayur di depan aja, biasanya jam-jam segini lewat," suruh Nara sembari menyodorkan beberapa lembar uang.

"Oh, iya, Buk," jawab Mbak Siti. Segera ia mencuci tangan dan mengeringkannya. Setelah mengambil uang yang disodorkan majikannya, segera ia keluar untuk menunggu tukang sayur di jalan depan rumah.

"Mbak, orang baru ya?" sapa seorang tetangga. Sepertinya ia juga sedang menunggu tukang sayur yang biasa lewat di komplek perumahan yang cukup elite itu.

"Iya, Mbak," jawab Mbak Siti sambil tersenyum.

"Perkenalkan, saya Irah,  pembantu rumah itu," ucap seseorang yang ternyata bernama Irah sambil menunjuk kearah rumah besar ber cat hijau. 

"Saya Siti, mau beli sayur juga?" Mbak Siti bertanya.

"Iya. Memang Mbak Siti gak takut kerja di rumah itu?" tanya Irah dengan suara yang sedikit diturunkan volumenya.

"Takut? Memang ada apa?" Mbak Siti balik bertanya, kelihatannya ia begitu penasaran.

"Rumah itu sudah 10 tahun lebih kosong, Mbak, dan katanya banyak kejadian-kejadian aneh di rumah itu," Irah menjelaskan sembari mengelus-elus lengannya sendiri yang terasa merinding.

"Kejadian aneh gimana?" Mbak Siti makin penasaran. Berkali-kali ia tampak menoleh melihat ke arah rumah besar dengan cat putih tempat ia bekerja.

"Sering dulu ada penjual yang lewat sini malam-malam, di gangguin. Beli gitu ... padahal kan rumah ini kosong gak ada orangnya," Ira bercerita.

"Apa iya ?" 

"Iya, Mbak ... bahkan sering juga pesan GoCar, bahkan pesan pizza ... " kembali Irah bercerita.

"Masa iya sih, saya mah gak percaya sama yang gitu-gituan," jawab Mbak Siti kurang yakin.

"Eeeh ... Mbak Siti gak percaya, dulu yang punya rumah ini mati dibantai, Mbak ... pengantin baru," kata Irah lagi.

Belum sempat Mbak Siti menjawab, tukang sayur yang mereka tunggu sudah datang.

"Lama banget sih, Mang, sampai pegel yang nungguin," protes Irah sembari berjalan mendekat ke gerobak sayur.

"Banyak langganan, jadi agak lama. Ini pelanggan baru sepertinya?" kata penjual sayur sambil melihat ke arah Mbak Siti.

"Iya, Mang. Tuh ... saya kerja di rumah itu," jawab Mbak Siti sambil menunjuk ke arah rumah Nara dan Pandu.

"Oo ... gak takut apa?" tanya penjual sayur.

"Tuh kan, Mbak Siti ... semua orang di sini sudah pada tau," sambung Ira.

"Semoga gak ada apa-apalah ... " jawab Mbak Siti sambil memilih sayur dan lauk yang akan dibelinya.

"Ya mudah-mudahan saja," kata penjual sayur.

"Iya, mudah-mudahan gak ada apa-apa," tambah Irah.

**********

"Buk, malam ini mau masak apa ya?" Mbak Siti bertanya sembari memotong-motong ayam yang dibelinya tadi pagi ditukang sayur.

"Ayam kecap sama tumis kangkung aja, Mbak ... eh iya, tambah sambal tahu ya," jawab Nara yang sedang mengambil minum di kulkas.

Dengan cekatan, Mbak Siti mengerjakan tugasnya. Tangannya terlihat begitu lincah memotong daging ayam saat tiba-tiba ...

"Aaaahhh ... " Nara berteriak sekuat tenaga sembari menjatuhkan gelas yang dipegangnya.

"Buk, Buk Nara, ada apa?" Mbak Siti terkejut, ia segera meletakkan pisau yang dipegangnya dan mendekati majikannya yang tampak ketakutan.

"I-itu tangan ... yang Mbak Siti potong-potong itu tangan," jawab Nara terbata.

"Ya Allah, Buk ... Ibu kecapean barangkali, itu ayam, Buk," Mbak siti berusaha menenangkan.

Nara mengusap wajahnya, dikucek-kucek matanya untuk memastikan apa yang dilihatnya. Ternyata tidak ada tangan ...

Nara duduk di ruang makan sembari menatap ke arah Mbak Siti yang sibuk memasak, fikirannya melayang jauh entah kemana.

"Ting tung ... " terdengar suara bel.

"Pandu," ucap Nara. Segera ia berlari ke depan untuk membukakan pintu.

"Beb ... " panggil Nara, dipeluknya Pandu yang berdiri tersenyum di ambang pintu.

"Kangen ya?" seloroh Pandu, diusap-usap punggung istrinya itu dengan lembut.

"Banget," jawab Nara manja.

"Masuk yuk," ajak Pandu. 

**********

"Gimana kerjanya, Beb?" tanya Nara sembari menyiapkan baju ganti Pandu.

"Seperti biasa ... banyak pasien," jawab Pandu sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk. Setelah mamakai baju, ia merebahkan tubuhnya yang terasa lelah di tempat tidur.

Nara ikut berguling di sampingnya sembari memeluk. "Beb," panggil Nara.

"Iya, ada apa?" jawab Pandu sambil mengelus-elus kepala istrinya.

"Boleh ya aku kerja lagi, aku bosen di rumah terus," rayu Nara.

Pandu tidak langsung menjawab, dikecupnya lembut kening Nara, wanita yang menjadi pelabuhan terakhir cintanya.

"Beb, aku gak mau kamu capek, kamu ingatkan rencana kita yang pingin segera punya momongan? Kalau kamu capek, kapan kamu hamilnya?" tutur Pandu dengan suara yang super duper lembut.

Nara terdiam, memang berhenti bekerja adalah permintaan Pandu sebelum mereka menikah, karena Pandu tidak ingin seperti kakaknya yang sampai sekarang belum punya anak karena keduanya sibuk bekerja, menumpuk kekayaan.

"Tok ... tok ... tok ... " suara pintu kamar diketuk.

"Iya" jawab Nara tanpa bergeser dari tempatnya.

"Makan malamnya sudah siap, Buk," ucap Mbak Siti memberitahu.

"Iya, Mbak, kami segera turun," jawab Nara sembari bangkit dan menarik tangan Pandu untuk ikut bangun.

"Iya, Beb ... iya ... " kata Pandu sambil tertawa.

**********

Setelah makan malam, Nara dan Pandu duduk-duduk di teras sembari bercengkrama. Tampak keduanya tertawa dan sesekali saling pukul atau cubit.

"Teng ... teng ... teng ... " terdengar bunyi mangkok dipukul diikuti dengan teriakan penjual. "Bakso!"

"Bakso, Beb," ucap Nara antusias, karena memang dia tadi cuma makan sedikit.

"Bakso? Oke ... " jawab Pandu sambil berdiri dan mengulurkan tangannya untuk digandeng Nara. Mereka berdua berjalan keluar pagar untuk menunggu tukang bakso yang masih terlihat di ujung jalan.

"Bakso dua, Mas," pesan Pandu pada penjual bakso begitu sudah dekat.

"Baik, Pak," jawab penjual bakso sembari meletakkan kursi yang dibawanya. "Duduk, Pak, Buk," kata penjual mempersilahkan.

"Makasih, Mas," jawab Pandu sambil duduk. "Duduk, Beb," ajak Pandu.

Tanpa mengiyakan, Nara duduk di samping Pandu. Mereka berdua mengawasi si penjual bakso yang sibuk meracik bakso pesanan mereka.

"Silahkan, Pak, Buk," ucap penjual bakso sembari menyodorkan dua mangkok bakso.

"Terimakasih ... " ucap Pandu dan Nara hampir bersamaan.

"Sudah lama jualan bakso, Mas?" tanya Pandu di sela-sela ia menikmati bakso yang super pedas itu.

"Sudah, Pak, mungkin sudah ada 5 tahun lebih," jawabnya.

"Oo, lama juga ya," 

"Iya, Pak ... "

Tidak ada lagi percakapan, yang terdengar hanyalah siulan penjual dan suara sendok yang bersentuhan dengan mangkok.

"Berapa, Mas?" tanya Pandu sambil merogo dompet dari saku celana pendeknya.

"30 ribu, Pak," jawab penjual.

"Nih, Mas," Pandu menyodorkan uang pas.

"Makasih, Pak, Buk," ucap penjual sembari menerima uang yang disodorkan Pandu.

"Sama-sama," jawab Pandu dan Nara hampir bersamaan.

**********

"Beb, aku gak bisa tidur," rengek Nara sambil mengusap-usap dada Pandu.

"Kekenyangan bakso barangkali?" jawab Pandu dengan malas, karena matanya sangat berat.

"Beb, serius!" ucap Nara agak emosi.

"Iya ... iya ... sorry ... terus aku harus gimana dong?"

"Aku gak suka tempat tidur ini, aku mau ganti," pinta Nara.

"Memang kenapa? Kan masih bagus, gak ada yang cacat sedikitpun, apalagi rusak," jawab Pandu.

"Pokoknya aku gak suka!" kata Nara.

"Iya ... iya ... besok pesan aja yang baru, terserah yang bagaimana, yang penting kamu nyaman," tutur Pandu sambil mengusap kepala Nara.

"Makasih ya, Beb,"

"Iya, sekarang bobok ya?"

"Iya ... "

Belum lama mereka memejamkan mata, Nara merasa tempat tidur mereka bergerak-gerak seolah ada yang tengah beraktifitas di atasnya. Padahal dia maupun Pandu tidak bergerak sama sekali.

Nara meringkuk dan memeluk Pandu dengan erat, jantungnya berdegup dengan kencang karena takut. Dia berusaha memejamkan matanya namun sulit, gerakkan itu makin lama makin kuat mengguncang.

"Beb," tangan Nara mencengkeram lengan Pandu saat dilihatnya seperti ada dua orang yang sedang duduk di tepi tempat tidur.

"Au ... Beb," pekik Pandu. Segera Pandu menyalakan lampu yang ada di meja dekat tempat tidur mereka. Seketika ruangan menjadi terang.

Nara masih saja mencengkeramnya seraya menutup mata.

"Beb ... Beb, kamu kenapa?"

Nara tetap saja memejamkan matanya tanpa melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya terlihat bergetar.

"Beb, sadar, Beb," Pandu menggoyang-goyangkan bahu Nara.

"Hah," Nara seperti tersentak sembari membuka matanya.

"Kamu kenapa, Beb?" kembali Pandu mengulangi pertanyaannya.

"Beb, aku takut," rengek Nara.

"Iya, takut kenapa? Orang gak ada apa-apa kok?"

"Ada, Beb ... "

"Beb ... kamu mimpi barangkali?" bantah Pandu.

"Serius, Beb ... "

"Sayangku ... cintaku ... gak ada apa-apa ... " tutur Pandu sembari memeluk erat tubuh istrinya. "Apa kau pingin?" tanyanya kemudian sambil tersenyum.

Nara memukul dada bidang Pandu sambil cemberut.

"Aauu ... " pekik Pandu sambil tertawa.

"Rasain," olok Nara.

"Kalau kamu gak pingin ... sekarang jadi aku yang pingin," ucap Pandu sambil bangkit dan menindi tubuh Nara.

"Malas ah," tolak Nara.

"Salah sendiri, membangunkan macan tidur," jawab Pandu sembari menciumi istrinya.

BERSAMBUNG

Komentar

Postingan populer dari blog ini