• TUMBAL PSUGIHAN PART 1


#Tumbal_Pesugihan

Oleh: Adh Va


 "Bang, aku capek hidup miskin! Aku mau seperti yang lainnya, punya rumah bagus, punya mobil, makan enak tiap hari ...," ujar Sari pada Bayu suaminya.

Semenjak menikah dengan laki-laki itu satu tahun yang lalu, tidak pernah sekali pun ia merasakan berkecukupan, selalu saja kurang dan kurang. Bahkan hutang mereka bertumpuk di mana-mana.
"Abang juga capek, Dek. Tapi mau gimana lagi, cari kerjaan susah," jawab Bayu sembari menyusun kayu bakar yang baru saja dicarinya.
"Ya, Abang, usaha! Jangan diaaam aja di rumah," ujar Sari geram. Terlihat ia bersungut-sungut seraya duduk membelakangi Bayu.
"Kan, kamu tau sendiri, Dek. Tempo hari Abang juga sudah mencoba untuk melamar pekerjaan, tapi tetap tidak ada hasilnya," jawab Bayu dengan lesu.
"Jadi sampai kapan kita hidup miskin begini? Aku gak tahan, Bang, kalau harus terus-terusan seperti ini!" Sari berujar sembari berlalu meninggalkan Bayu yang duduk terdiam.
Entah apa yang akan ia lakukan untuk dapat membahagiakan Sari, wanita cantik yang dengan susah payah ia dapatkan. Anak orang kaya yang terpaksa harus pergi meninggalkan semua kemewahan demi untuk bisa menikah dengan dirinya.
"Aku harus berbuat sesuatu, sebelum Sari berubah pikiran dan pergi meninggalkanku," gumam Bayu sembari mengangguk-angguk pelan.



***
Sudah tengah malam, tapi mata Bayu belum mau terpejam juga. Ia masih memikirkan cara agar bisa terlepas dari kemiskinan yang membelenggunya.
"Bang, kok, belum tidur?" tanya Sari yang ternyata menyadari bahwa suaminya masih terjaga. Wanita cantik itu beranjak bangun dan ikut duduk bersandar pada dinding bambu rumah mereka.
"Abang belum mengantuk, Dek?" jawab Bayu sembari menatap wajah istrinya yang tetap terlihat cantik walaupun tanpa skincare. Hanya pucuk daun jambu biji yang biasa digunakan oleh Sari untuk menggosok wajahnya setiap kali mandi.
"Bang, maafkan aku, ya? Tadi sudah bicara kasar sama, Abang," sesal Sari sembari menyandarkan kepalanya pada bahu laki-laki itu.
"Kamu gak salah, Dek. Abang yang salah, gak bisa membahagiakan kamu," ujar Bayu sambil mengelus pucuk kepala wanita yang teramat dicintainya itu. "Kita tidur, yuk, sudah larut," ajak Bayu sembari menggenggam tangan lembut istrinya yang telah berubah kasar.
"Ayuk ...," jawab Sari sambil bersiap untuk berbaring.
"Tapi sebelum tidur ... boleh, kan Abang minta," lirih Bayu sambil tersenyum. Wajah tampan yang telah membuat Sari begitu tergila-gila itu, terlihat sedikit abstrak karena nyala lampu minyak yang redup.
Sari tersenyum mendengar permintaan suaminya. Permintaan yang tidak pernah ditolaknya barang sekali pun, bahkan sewaktu mereka masih berpacaran dulu.
"Boleh, kan?" Kembali Bayu bertanya, karena ia belum memperoleh jawaban.
Sari mengangguk sebagai jawaban. Diusapnya dengan lembut wajah tampan laki-laki itu.
Bayu tersenyum melihat anggukkan dari sang istri. Tidak perlu berlama-lama, segera ia menuntaskan hasratnya yang tidak surut sedikit pun walau sudah satu tahun menikah.
Keduanya terkulai lemas pada tempat tidur bambu yang Bayu buat sendiri. Keringat membanjiri tubuh keduanya.
"Sakit lututnya, ya, Bang?" tanya Sari begitu dilihatnya laki-laki itu mengusap-usap kedua lututnya.
Bayu tertawa lirih mendengar pertanyaan dari sang istri. "Sudah biasa, kok," jawabnya kemudian. "Terimakasih, ya, Dek, sudah mau hidup menderita bersama dengan Abang." Tambah Bayu sambil membelai wajah berkeringat Sari.
"Aku bahagia, kok, Bang ...," jawab Sari sambil tersenyum.
***
Pagi-pagi sekali, Bayu sudah mandi. Terlihat ia berpakaian rapi dan memakai sepatu. Jam tangan yang dulu diberikan oleh Sari sebagai kado ulang tahun untuknya juga tampak melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Abang mau ke mana?" tanya Sari yang baru saja bangun. Terlihat ia mengucek-ucek matanya yang masih terasa berat.
"Abang mau usaha," jawab Bayu sembari menyisir rambutnya yang terlihat sedikit gondrong. Uang limabelas ribu terasa begitu berat bila harus dipakai untuk membayar tukang pangkas rambut, lebih baik untuk keperluan yang lain.
"Usaha apa pagi buta begini, Bang?" Sari tampak bingung.
"Abang mau ke kota, menemui teman Abang dulu," terang Bayu sembari memegang pundak Sari.
"Ke kota?" lirih Sari sambil menunduk. Ia sepertinya keberatan.
"Iya, Dek," jawab Bayu mantap.
"Bagaimana kalau nanti bertemu dengan keluargaku?" ucap Sari risau.
"Mudah-mudahan tidak. Kita akan datang menemui mereka dengan sukarela, setelah kita sukses," ujar Bayu sembari menatap ke luar.
"Abang, yakin kita bisa sukses?" Sari terlihat ragu.
"Yakin. Abang sangat yakin. Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan," kata Bayu penuh keyakinan.
"Semoga saja, Bang. Tapi pulang, kan?" Sari bertanya.
"Pulang, tapi mungkin agak malam. Nanti kamu ganjal pintunya pakai kayu besar itu, ya?" ujar Bayu sembari menunjuk ke arah kayu besar yang biasa mereka gunakan untuk duduk.
"Iya, Bang. Tapi usahakan pulang secepatnya, ya?"
"Iya, Dek. Ya, sudah ... Abang berangkat dulu, hati-hati di rumah." Pesan Bayu pada istrinya.
"Iya, Bang. Abang juga hati-hati di jalan, ya?" ujar Sari.



Jam tangan yang tergeletak di atas meja kecil usang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Bayu belum juga pulang . Kegelisahan mulai menyerang Sari. Terlihat ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar seraya meremas-remas bagian bawah baju lusuhnya. "Bang Bayu ... kok, Abang belum pulang-pulang juga?" lirihnya.
Tok tok tok ....
Terdengar ketukkan di pintu.
"Dek ...," panggil orang itu yang tidak lain adalah Bayu.
"Abang ...," panggil Sari sembari berlari ke luar dari kamar, dan segera ia menggeser kayu besar pengganjal pintu.
Begitu bahagianya Sari melihat Bayu, suaminya itu tengah berdiri sambil tersenyum di ambang pintu. "Dek." Kembali laki-laki itu memanggil. Segera ia melangkah masuk dan menutup pintu.
"Kok, pulangnya lama, Bang?" Sari bertanya.
"Susah dapat tumpangan tadi," jawab Bayu sembari membuka bajunya yang sedikit basah oleh keringat. "Abang mandi dulu, ya." Pamitnya kemudian.
"Iya, Bang," jawab wanita itu singkat. Ia tersenyum dengan lega, suami yang ia tunggu-tunggu sedari tadi sore akhirnya pulang juga. Segera Sari menyiapkan baju ganti untuk suaminya.
"Bagaimana, Bang, ketemu tadi dengan temannya?" tanya Sari begitu Bayu sudah selesai mandi dan berpakaian. Ia menatap laki-laki itu penuh harap, berharap suaminya itu membawa kabar gembira.
"Ketemu, Dek," jawab Bayu singkat.
"Terus?" Kembali Sari bertanya, tampak ia memiringkan sedikit kepalanya.
"Besok aja Abang cerita," ujar Bayu.
"Ya, sudah. Sekarang kita makan dulu yuk, Bang. Pasti, Abang, belum makan, kan? Aku juga belum, Bang?" kata Sari.
"Abang sudah makan, Dek. Kamu saja yang makan, lagian ... kenapa mesti nunggu Abang," jawab Bayu berbohong. Padahal perutnya terasa begitu lapar. Karena sewaktu selesai mandi tadi, sekilas ia melihat di meja, hanya ada sepiring kecil nasi dan dua potong tempe goreng.
"Beneran, Abang, sudah makan?" Sari memastikan.
"Sudah," jawab Bayu meyakinkan.
***
Keesokan paginya, segera Bayu menyuruh Sari untuk berbelanja beras dan juga lauk pauk di warung. Ia menyodorkan selembar uang ratusan ribu, entah dari mana ia mendapatkan uang tersebut.
Sari sedikit bingung dengan uang yang disodorkan oleh suaminya, tapi ia enggan bertanya. Mungkin saja, itu uang pemberian dari temannya.
Setelah berbelanja dan selesai memasak, segera Bayu menyuruh Sari untuk memasukkan makanan itu sebagian ke dalam rantang.
"Untuk siapa, Bang?" tanya Sari terheran-heran.
"Itu, untuk Haris, kasihan dia," kata Bayu.
Sari tersenyum, sungguh wanita itu tidak menyangka, bahwa ternyata suaminya berhati malaikat. "Aku senang mendengarnya, Bang, biar pun kita miskin ... tapi masih bisa sedikit berbagi," ujar Sari terharu. Tampak ia menitikkan airmata.
"Harus itu, Dek. Supaya kita diberikan kelancaran rezeki," kata Bayu sembari mengusap kepala istrinya.
Haris adalah tetangga mereka yang berprofesi sebagai tukang ojek dan berpenghasilan tidak menentu. Ia memiliki seorang anak yang masih balita, dan kini istrinya juga tengah mengandung.
"Abang ke rumah si Haris dulu, ya. Pasti istrinya belum masak." Pamit Bayu sembari menenteng rantang bermotif batik itu.
"Iya, Bang. Langsung pulang, ya, biar kita juga segera sarapan." Sari berpesan
Bayu hanya mengangguk sambil tersenyum, dan kemudian berlalu.
***
"Wah ... kok, repot-repot, Bay? Terimakasih, ya," kata Haris sambil menerima rantang yang Bayu sodorkan.
"Sari masak agak banyak hari ini, jadi ... kami bagi saja sama kalian," jelas Bayu.
"Terimakasih, ya, Bang. Kebetulan memang saya juga belum masak," ujar Maya istri haris, sembari mengelus-elus perutnya yang sudah terlihat membesar.
Sekilas Bayu menatap perut buncit Maya, mungkin ia juga menginginkan Sari istrinya segera hamil dan memberikannya keturunan.
"Wah, kebetulan kalau begitu," kata Bayu sambil tersenyum. "Ya, sudah kalau begitu, saya pamit pulang dulu. Semoga berkenan dengan masakan istri saya." Kembali ia berkata.
"Sekali lagi terimakasih, loh, Bay," kata Haris.
"Sama-sama ..." jawab Bayu. Segera ia bergegas pulang ....
"Semoga saja berhasil," lirih Bayu ketika ia menapakkan kaki di halaman rumah reotnya.
"Bang, sudah?" tanya Sari mengejutkannya.
"Eh, Dek. Abang sampai kaget," ujar Bayu sembari memegang dadanya.
"Yuk, kita sarapan, Bang." Ajak Sari sambil menggandeng tangan suaminya.
"Ayuk ...," jawab Bayu seraya mengikuti langkah istrinya.
"Abang dapat uang dari mana, Bang?" Terlontar pertanyaan itu dari mulut Sari. Karena memang ia begitu penasaran.
"Maaf, ya, Dek. Abang gadaikan jam tangan pemberian kamu dulu," jawab Bayu sambil merangkul pundak Sari.
"Apa?" Sari sangat terkejut.
"Tapi Abang janji, secepatnya akan Abang tebus kembali," kata Bayu meyakinkan.
"Ya, sudah. Gak papa ...," jawab Sari sembari menunduk sedih.


***
"Aduh, Mas ... perutku sakit sekali!" keluh Maya tiba-tiba.
"Loh, sakit kenapa, May?" tanya Haris panik. Segera ia beranjak bangun dan mengusap-usap perut istrinya yang terlihat bergerak-gerak.
"Aduuuuh ... aku udah gak kuat, Mas ...," keluh Maya lagi sambil menangis.
"Ya, sudah. Kamu tunggu dulu, Mas mau panggil Bidan Nunung," ujar Haris sembari menyeka keringat Maya yang membasahi wajah ayunya.
"Cepet, Mas ... aku udah gak tahan ...!" ujar Maya sambil memegangi perut buncitnya.
Segera Haris pergi dengan mengendarai sepeda motor bututnya untuk menjemput Bidan yang akan menolong istrinya.
Di tempat berbeda ....
Tampak Bayu duduk bersila dengan mata terpejam sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Bibirnya terlihat komat-kamit seperti mengucapkan mantra.
Di depannya, tergeletak sebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu yang berisi daun sirih dan sebatang lilin sebagai penerangan.
Hembusan angin yang tiba-tiba menerobos masuk, membuat nyali Bayu sedikit surut. Bulu kuduknya meremang.
"Tumbal pertamamu aku terima, kamu berhasil. Tapi ingat! Setiap tiga bulan, kamu harus kembali memberikanku tumbal!" Terdengar suara yang entah dari mana datangnya.
"Ba-baik, Nyai Kembang. Pasti akan selalu saya siapkan tumbal untuk Nyai," jawab Bayu lirih masih dengan mata tertutup.
"Sekarang, buka mata kamu, ritualmu telah berakhir ...," ucap wanita yang dipanggil dengan sebutan Nyai Kembang tersebut.
Perlahan, Bayu membuka matanya. Begitu terkejutnya ia, ketika mendapati daun sirih itu telah berubah menjadi tumpukkan uang.
"Aku kaya ... aku kaya ...," lirihnya sembari meraup uang tersebut. Buru-buru ia memasukkan uang tersebut ke dalam plastik hitam yang telah dipersiapkannya.
Di kediaman Haris ....
"Yang sabar, ya? Yang ikhlas ... ini sudah takdir Allah," ujar Bidan Nunung memberikan kekuatan kepada Maya dan Haris.
Ya, Maya keguguran ... bayi yang dilahirkannya masih berusia lima bulan. Wanita itu tersedu sembari memeluk baju bayi yang telah ia persiapkan untuk sang buah hati.
"Sudah, May, yang Ikhlas ...." Suara Haris terdengar serak.
"Tapi, Mas ...."
"Sudah, ini takdir Allah," kata Haris memotong ucapan istrinya.
"Bang ...," panggil Sari. Wanita itu terbangun kala Bayu baru merebahkan bobot tubuhnya.
"Eh, Iya, Dek," jawab Bayu agak terkejut. Ia merasa sudah cukup berhati-hati ketika menaiki tempat tidur, tapi masih saja itu membuat istrinya terbangun.
"Abang baru mau tidur?" Sari bertanya sembari mengangkat kepalanya, memperhatikan wajah Bayu yang sedikit berkeringat.
"Iya, Dek. Malam ini cuacanya terasa panas, jadi Abang gak bisa tidur." Bayu beralasan. Tampak ia menyeka keringatnya dengan lengan baju.
"Jendelanya sedikit dibuka aja, Bang," kata Sari sembari beranjak bangun.
"Gak usah, Dek. Nanti malah nyamuknya masuk semua." Larang Bayu sambil mencekal tangan istrinya.
"Ya, sudah." Kembali wanita itu merebahkan tubuhnya dan memeluk tubuh kekar Bayu. "Jam berapa ini, Bang?" tanyanya lagi.
"Jam satu, makanya kamu cepat tidur lagi," kata Bayu seraya mengusap-usap lengan istrinya yang terasa dingin.
"Iya, Bang. Aku memang masih ngantuk," lirih Sari sembari makin erat memeluk.
***
Berita kematian anak Maya dan Haris sampai juga ke telinga Bayu dan Sari. Segera keduanya datang untuk melayat.
"Kami turut berduka cita, ya, Ris. Kamu yang kuat, sabar, ikhlas ...," ujar Bayu seraya memeluk sahabatnya itu.
"Terimakasih, ya, Bay. InsyaAllah kami ikhlas ...," jawab Haris sambil menyeka airmatanya.
Setelah pemakaman selesai dilakukan, Bayu dan Sari langsung pulang ke rumah mereka.
"Bang, kasihan sekali, ya, bayi Maya. Tubuhnya biru-biru," ujar Sari sembari membuka kerudung warna hitam yang dikenakannya.
"Masa'?" tanya Bayu singkat.
"Iya, Bang. Kan aku lihat waktu dimandikan tadi ...," jawab Sari. Wanita itu terlihat murung.
"Kenapa kamu murung gitu?" tanya Bayu sembari mengernyitkan kening. Laki-laki itu berjalan mendekat.
"Kapan kita punya anak, ya, Bang?" lirih Sari dengan raut sedih.
"Kita akan berobat, Dek. Kita akan pergi ke dokter yang terhebat," ujar Bayu sambil mengusap lembut pucuk kepala istrinya.
"Biaya dari mana, Bang? Seandainya saja Orang tuaku merestui hubungan kita, pasti aku sudah minta tolong pada mereka." Sesal Sari.
"Kita tidak akan minta tolong sama mereka. Abang akan cari pinjaman pada teman untuk pergi ke dokter dan sekalian untuk modal usaha," kata Bayu.
"Memang ada yang mau bantu? Terus nanti bayarnya bagaimana?" Rentetan pertanyaan dari Sari membuat Bayu tersenyum.
"Bisa, pasti bisa." Bayu meyakinkan.
"Aku percaya saja sama, Abang," ujar Sari seraya memeluk suaminya.



***
Bayu membuka sebuah mini market di tempat yang cukup strategis. Itu membuat dagangannya begitu laris manis. Tidak menunggu waktu yang lama, ia kini dapat membeli sebuah motor yang selama ini ia idam-idamkan.
"Alhamdulillah, ya, Bang. Usaha kita berjalan lancar," ujar Sari sambil bergelanyut di lengan suaminya.
"Iya, Dek. Kalau terus lancar begini, kita bisa secepatnya membeli rumah," timpal Bayu senang.
"Aamiin ... semoga saja, Bang," kata Sari sembari mengusap wajahnya.
Kehidupan mereka kian berubah. Gubuk reot yang mereka tempati secara gratis itu kini terbengkalai tak berpenghuni, karena Bayu dan Sari kini telah memiliki rumah sendiri.
"Bang, aku mau pergi ke dokter lagi. Abang, mau ikut?" ujar Sari sembari menyisir rambutnya yang indah karena selalu ia rawat di salon.
"Kamu sendiri saja, ya? Abang mau mengurus mini market kita yang baru," kata Bayu yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Oh, gitu? Ya, sudah gak papa. Aku naik taksi aja," jawab Sari sambil mengambil tasnya yang tergeletak di tempat tidur.
"Hati-hati, ya, Dek." Pesan Bayu.
"Siap, Bang. Aku berangkat dulu, ya?" Pamit Sari kemudian.
***
Tidak terasa tiga bulan sudah berlalu. Nyai Kembang sudah sering mendatangi Bayu di dalam mimpinya untuk menagih.
"I-iya, Nyai. Akan segera saya siapkan tumbalnya," jawab Bayu tidak berani menatap.
"Ingat, Bayu ... jika kau sampai lupa, kekayaan yang kau miliki akan hilang dalam sekejap mata!" ujar Nyai Kembang dengan tatapan mata yang begitu tajam.
"Jangan, Nyai. Saya mohon jangan! Akan segera saya carikan tumbal itu," ucap Bayu menghiba.
"Baiklah ... aku tunggu sampai besok malam. Bila tidak juga kau berikan aku tumbal itu ... ancamanku tadi akan segera berlaku!" Kembali Nyai Kembang mengancam.
"Ba-baik, Nyai. Saya janji," jawab Bayu.
"Bang, Abang. Ada apa? Abang mimpi?" tanya Sari seraya mengguncang-guncang tubuh Bayu yang bermandi peluh.
"Hah!" Bayu segera membuka matanya. Terlihat nafasnya begitu tersengal-sengal.
"Abang mimpi apa? Nyai? Nyai siapa?" Sari mencecar dengan pertanyaan.
"Nyai? Apa Abang tadi bilang begitu?" Bayu pura-pura tidak mengerti.
"Iya ...," jawab Sari curiga.
"Oh, itu mungkin karena film yang kita tonton tadi." Bayu mengelak.
"Abang, bikin orang jantungan aja," oceh wanita itu sambil mencubit pinggang suaminya.
"Maaf, Dek ...," jawab Bayu sambil nyengir. Ia menghela nafas dengan lega karena ternyata Sari tidak mencurigainya.
"Ingat janjimu, Bayu!" Terdengar suara tanpa wujud. Kali ini nyata, bukan mimpi.
"I-iya, Nyai," jawabnya lirih.
"Bang!" Kembali Sari mencubit pinggangnya.
"Iya, Dek, iya ... Abang cuma menggoda kamu," kata Bayu berbohong.
"Nanti beneran didatangi baru tau!" ujar Sari sambil cemberut.
"Ini sudah didatangi sama kamu," gurau Bayu.
"Iiihhh ...." Kembali wanita itu mencubit manja suaminya.

BERSAMBUNG
---Next---

Komentar

Postingan populer dari blog ini